Langsung ke konten utama

Lumbung, Budaya Tani yang Redup



Setiap orang memiliki hak untuk kenyang. Dan petani sebagai produsen pangan, seharusnya selalu kenyang dan berkecukupan. Namun kondisi tersebut jarang terjadi, karena tidak semua petani memiliki tanah luas untuk menghasilkan surplus panen. Banyak dari mereka terhimpit dalam kehidupan subsisten, hari ini makan beras besok makan ubi atau tidak makan sama sekali. Kekhawatiran petani terhadap kelaparan inilah yang menuntut mereka hidup dalam batasan aman. Lalu mengapa petani sebagai penghasil pangan justru sangat rentan kelaparan?
            Menyambung sedikit mengenai kerentanan di kalangan petani ada sebuah fakta ironis yang melatarbelakangi hal tersebut. Petani kini terjebak pada sebuah mekanisme rumit, salah satunya ditunjukan dengan kecenderungan mereka untuk mengurangi kelaparan dengan menjadi buruh-buruh di kota. Budaya tani kian hari dimusnahkan. Situasi tersebut seoleh membenarkan ucapan Marx pada 1846 melalui Manifesto Partai Komunis, bahwa kapitalisme membuat ketergantungan desa ke kota, kapitalisme juga membuat mereka kelas bukan proletariat tersandung menjadi proletariat.
            Petani tetap bekerja sebagaimana adanya di garis subsisten, sementara pemerintah makin hari justru tergantung pada hasil impor. Di sisi lain, petani pun menghadapi hegemoni Badan Urusan Logistik (Bulog) dalam menentukan harga panen. Terbesit sebuah ungkapan satir, “untuk makan beras saja petani harus menjual beras.”  Lalu kemanakah mekanisme kontrol pangan yang seharusnya masif di budaya petani? Inilah skenario besar yang membayangi benih-benih padi di sawah pak dan bu tani. Inikah yang diharapkan dari sebuah evolusi besar sejarah manusia yakni kapitalisme karena tengah merevolusi alam, materi, dan gagasan yang justu bertitik tolak pada tujuan kemuliaan? Dan berikut pembahasan lumbung padi sebagai bagian dari basis material petani untuk mendistribusikan pangannya agar mereka tidak kelaparan. Kenapa lumbung padi, karena ketersediaan lembaga pangan tersebut seharusnya menjadi barometer kesejahteraan petani.

Lumbung Padi Pak dan Bu Tani
Lumbung bagi masyarakat petani berfungsi untuk menampung hasil panen raya untuk  cadangan pangan ketika musim paceklik kelak. Lumbung dalam budaya petani juga menempati posisi sangat strategis karena mempengaruhi proses distribusi pangan. Lembaga tersebut juga menjadi bentuk nyata dari modal sosial masyarakat sebagai penyedia pangan dalam waktu cepat saat dibutuhkan.  
            Salah satu contoh lumbung padi di masyarakat petani Jawa adalah leuitLeuit merupakan istilah lokal Sunda untuk menyebutkan lumbung. Fungi leuit yakni menyimpan hasil panen melalui kontrol sedemikian rupa menggunakan aturan adat. Tiap keluarga batih memiliki paling tidak satu leuit untuk menjaga ketersediaan pangan. Dikenal juga leuit komunal, leuit Sijimat, yang berfungsi memenuhi cadangan pangan kampung dan konsumsi ritual adat masyarakat.
            Bahan pangan yang ada di lumbung juga selalu diupayakan mampu memenuhi kebutuhan pangan pada masa paceklik. Oleh sebab itu, pengelolaannya pun tak bisa sembarang. Kasepuhan merupakan contoh kecil dari mekanisme kontrol lumbung. Selain bahan pangan untuk konsumsi, lumbung petani juga berfungsi menjaga ketersediaan benih untuk musim tanam selanjutnya. Sebelum Revolusi Hijau, situasi tersebut jamak terjadi di masyarakat guna menjaga kelestarian varietas padi lokal. Hal serupa juga dilakukan oleh masyarakat petani Sunda di Kasepuhan, Sukabumi, Jawa Barat. Mereka mengaku bahwa kualitas padi lokal seperti,  padi sri kuning, sri mahi,  raja wesi, raja denok, cere kawat,  cere bodas, terong, gadog, dan padi nemol, dianggap lebih menguntungkan. Varietas tersebut lebih tahan dengan tantangan kondisi alam setempat. Jenis padi tersebut juga tidak menghasilkan gabah yang terlepas dari tangkainya sehingga mampu dibuat ikatan pocong untuk dimasukkan lumbung, leuit, sesuai tradisi mereka.
            Banyak budaya petani juga menggunakan lumbung sebagai antisipasi kekurangan pangan atau gagal panen. Misalnya budaya petani masyarakat Baduy, Kasepuhan dan Dayak. Masyarakat Dayak yang bertani sistem ladang berpidah selalu mengupayakan tiga lumbung padi (Witoro dkk, 2007:17). Lumbung pertama berisi panen tahun lalu untuk konsumsi tahun depan. Lumbung kedua kosong karena isinya dikonsumsi tahun lalu, dan akan diisi oleh panen tahun ini. Sementara lumbung ketiga dikonsumsi tahun ini.  Sama halnya dengan lumbung padi Baduy dan Kasepuhan, leuit, yang menjalankan fungsinya melalui lumbung pribadi dan lumbung paceklik untuk komunal. Kondisi itu merupakan salah satu bentuk budaya petani yakni lumbung sebagai lembaga pendistribusian pangan.

Eksistensi Lumbung dan Hegemoni Bulog
            Lemahnya fungsi lumbung pangan berbasis masyarakat lokal salah satunya diakibatkan oleh sentralisasi peran Bulog pada masa Orde Baru (Orba). Kenapa? Karena Bulog menggantikan peran lumbung sebagai model distribusi pangan masyarakat. Hal tersebut merupakan faktor kecil dari banyak hal yang mempengaruhi eksistensi lumbung pangan komunitas.
            Orba memulai kekuasaannya dalam mengatur sistem pertanian dan pangan nasional dengan membentuk Komando Logistik Nasional disusul Keputusan Presidium Kabinet Nomor 114/Kep/1967.  Dari sana lah lahir Bulog sebagai lembaga pengendalian oprasi bahan pokok kebutuhan hidup. Pada dekade yang sama, juga terjadi revisi dari berbagai kebijakan terkait fungsi Bulog. Hingga dicapailah aturan Keputusan Presiden Nomor 39/1978 yang menugaskan Bulog sebagai pelaksana pengendalian harga beras, gabah, gandum dan bahan pokok lainnya guna menjaga kestabilan harga (Witoro dkk, 2007: 25).
            Bulog sebagai lembaga tunggal cadangan pangan nasional dan penentu harga panen petani kian menegaskan kebijakan Orba yang sentralistik. Ia berwenang untuk menentukan harga dengan maksud memberikan stabilitas harga pangan yang menguntungkan produsen dan konsumen. Ia juga menjadi lembaga yang memonopoli impor pangan nasional. Era 1973 hingga 1992,  kebijakan ini relatif mampu menjaga stabilitas harga bahan pokok karena ada keringanan untuk menggunakan dana Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Namun kisah Bulog tetap menyembunyikan sejarah kelam korupsi dengan statusnya sebagai lembaga independen. Hingga akhirnya lembaga pangan nasional ini colaps  ketika krisis moneter 1997 dan harus tunduk dengan kesepakatan Letter of Intent (LoI) dari International Monetery Fund. Inilah kisah tragis Bulog sebagai badan negara penyangga pangan yang tersandung liberalisasi segala aspek kehidupan. Inilah jebakan kolonialisme modern sebagai skenario besar negara dunia pertama dalam menjajah negara dunia ketiga.
            Pembacaan kritis dari sentralisasi kebijakan Orba adalah terbunuhnya potensi lokal dalam memberdayakan diri menggunakan caranya sendiri. Salah satu contoh yang menjadi ironi adalah terbunuhnya potensi lokal dalam menjaga ketahanan pangan. Kenapa? Karena capaian Orba dengan menjadikan Bulog sebagai gudang pangan nasional justru membunuh pelan-pelan fungsi lumbung. Padahal lumbung komunitas bisa jadi tidak terpengaruh oleh dinamika perekonomian dunia. Bahkan lumbung komunitas mampu menjadi alternatif pengadaan pangan yang memadai ketika terjadi krisis.

Eksistensi Lumbung dan Hegemoni Pasar
            Sudah jamak diketahui bahwa sawah-sawah pak dan bu tani kini kian menyempit. Tentunya kondisi ini tak hanya dilatarbelakangi oleh ‘kemiskinan terbagi’ masyarakat petani ala Gertz. Kalau penulis boleh berasumsi, banyaknya konversi lahan pangan menjadi perumahan mewah merupakan salah satu faktor yang cukup dominan. Bahkan ada data yang menyebutkan bahwa setiap tahun lahan pangan di Indonesia berkurang sekitar 10 ribu hektar (Usep Setiawan dalam majalah Basement, 2008: 21). Situasi ini mengindikasikan bahwa kian rumitnya posisi petani dalam persaingan bebas dewasa ini. Tanah-tanah mereka dikalahkan oleh investasi modal yang jumlahnya bermiyar-milyar. Akhirnya masyarakat petani justru menciut menjadi seorang petani, karena terlalu banyak faktor yang menghancurkan eksistensi mereka. Liberalisasi sektor pertanian, yang menuntut petani gurem bersaing dengan pengusaha pangan impor, merupakan bukti bahwa tidak ada penghargaan bagi petani kita. Tak hanya lumbung, pak dan bu tani pun makin lama makin termarjinalkan.
            Jika ditilik dari faktor sejarahnya, liberalisasi pertanian dimulai dari kesepakatan Indonesia dengan IMF pada krisis 1997 hingga 1998. Di sana, Indonesia menyepakati pinjaman dari IMF dengan jaminan adanya liberalisasi, deregulasi dan privatisasi berbagai sektor. Salah satunya adalah perubahan status Bulog sebagai badan usaha. Kesepakatan tersebut juga menentukan bahwa tak adanya pembatasan impor pangan dunia ke Indonesia (Henry Saragih dalam majalah Basement, 2008: 17). Bahkan pemerintah Indonesia dituntut deregulasi yang artinya mengurangi atau bahkan menghapus subsidi bagi petani.
            Menjadi masyarakat petani kini kian susah, terlebih paska proses liberalisasi berbagai sektor. Salah satunya adalah liberalisasi pengusaha pupuk, benih dll. Dari hasil analisis dari Forum Petani Karawang terhadap usaha tani petani di Desa Cikuntul, Karawang pada tahun 2002 menunjukkan bahwa biaya produksi per hektar meningkat dari Rp. 1.800.500 pada tahun 1996 menjadi Rp.2.709.000 pada tahun 1999, sementara itu harga gabah cenderung tetap yaitu pada tingkat harga Rp. 1000/kg pada tahun 1996 dan Rp. 1100/kg pada tahun 1999 (Forum Petani Karawang dalam Anonim, 2002).
            Situasi di atas menjadi bukti nyata bahwa masyarakat petani kian terpojok. Jangankan mengisi lumbung, memperoleh pangan untuk satu bulan kedepan dari lahan sendiri saja sudah cukup susah. Gara-gara kredit hutang ke IMF, petani Indonesia harus menanggung akibatnya. Setelah masa Orba yang menuntut penghapusan keragaman mereka melalui injeksi Revolusi Hijau, kini mereka harus dihadapkan pada perdagangan bebas yang semakin tak menjamin kehidupan mereka.         
            Lalu bagaimana dengan pak dan bu tani kita? Ya, dengan argumen yang telah disebutkan di atas secara tegas penulis mengatakan bahwa petani telah kehilangan budaya tani-nya. Mereka kehilangan lumbung sebagai penyandang cadangan mereka. Mereka pun kehilangan semangat bertani karena hasil panen yang tak dihargai dan mahalnya pupuk. Situasi ini mengindikasikan bahwa adanya konspirasi besar antara negara dan pasar dalam membunuh potensi masyarakat petani. [ ]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara

Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li STPN 14 Desember 2016 Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara. Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perd

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan

Authoritarian and paternalism in Indonesian peasant cooperative: A former plantation workers’ cooperative from the 1950s to the neoliberal era

Abstraction This paper examines the dilemmas of a former plantation workers’ cooperative attempting to develop an egalitarian and self-managed agrarian community in the face of persistent military influence in Indonesian’s rural areas. These dilemmas are related to the question of how the ex-worker community shapes and is shaped by exclusionary politics as their cooperative shifts from a peasant political movement into an instrument of capitalistic relations of production. The paper focuses on an ex-plantation workers’ cooperative in West Java (Indonesia) which has been struggling since the rise of the socialist movement in the 1950s. At that time, the plantation workers occupied the former colonial rubber plantation and initiated land reform for the subsistence plots of landless households. The rest of the undistributed land was maintained as an independent cooperative owned and managed by the members under the guidance of the Indonesia Peasant Movement (GTI), a movement inspi