Langsung ke konten utama

Kelas Petani dalam Perubahan Agraria


Judul Buku: Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria
Penulis: Henry Bernstein
Penerjemah: Dian Yanuardy, Muntaza dan S Aswar Herwinarko
Cetakan: I, 2015
Penerbit: Insist PressTebal: xx + 160 halaman
ISBN: 978-602-8384-99-5

Melalui buku ini, Henry Bernstein menjelaskan kerumitan dinamika kelas agraria sebagai bagian dari sejarah kapitalisme. Dengan cara pandang ekonomi politik kritis, Bernstein memandang petani bukanlah konsep yang terkategorikan secara homogen. Petani harus ditautkan dengan jenis usaha tani, komoditas tanam, input pertanian, dan pemenuhan tenaga kerja.

Perspektif kritis demikian sangat penting untuk disimak khalayak di Indonesia. Sebab, sejak Orde Baru, diskursus agraria dan pedesaan didominasi oleh analisis non-kelas, baik dalam varian perspektif modernisasi maupun populisme romantis. Buku Bernstein menawarkan pendekatan berbeda yang menggugat pandangan dominan itu.



Bernstein dengan tajam mengkritik pandangan petani sebagai kategori homogen. Konsep “smallholders” (petani kecil) mewakili pandangan romantis ini yang mengaburkan dinamika diferensiasi di dalam populasi pedesaan ataupun ketegangan internal di dalam rumah tangga (biasanya berbasis jender). Sebagai ganti, ia menggunakan konsep petty commodity producer (produsen komoditas skala kecil) yang menggambarkan kondisi petani yang tidak bisa mereproduksi diri di luar sirkuit kapitalisme (apa yang disebutnya “komodifikasi subsistensi”), dan bahwa mereka terdiferensiasi menjadi petani kapitalis skala kecil, produsen komoditas skala kecil yang relatif sukses, dan buruh tani (hal 3-4).

Bernstein memulai bab I dengan penjelasan tentang produksi dan reproduksi petani. Bab II hingga bab V menjelaskan dinamika kelas agraria dalam sejarah perkembangan kapitalisme. Bab VI membahas perkembangan kapitalisme dalam pertanian yang tidak pernah tuntas-kondisi yang membuat produsen komoditas skala kecil tetap bertahan. Selanjutnya, pada bab VII hingga VIII Bernstein melakukan teorisasi atas kompleksitas sejarah dan faktor ekonomi politik yang membentuk diferensiasi kelas pedesaan.

Mengawali bukunya, Bernstein menegaskan bahwa diferensiasi kelas pedesaan berawal saat petani tidak mampu mencukupi kebutuhan untuk meneruskan pertaniannya. Petani terdesak oleh beragam pengeluaran, mulai dari dana konsumsi, dana pembaruan alat produksi, dana seremoni, sampai dana rente. Dana rente, misalnya, terkait dengan sejarah penundukan petani oleh kelompok otoritas yang memiliki kekuasaan untuk membebankan pajak. Surplus diproduksi melebihi kebutuhan produsen untuk menopang kelas-kelas dominan yang bukan produsen. Bernstein menawarkan cara baca untuk mengidentifikasi kelompok paling marjinal di pedesaan melalui empat pertanyaan kunci: “Siapa memiliki apa? Siapa melakukan apa? Siapa memperoleh apa? Digunakan untuk apa hasil yang mereka dapatkan?” (hal 25).

Bagi Bernstein, ketimpangan pedesaan makin tajam seiring perkembangan kapitalisme yang mensyaratkan perluasan tanaman komoditas yang diperjualbelikan untuk akumulasi laba. Sementara akumulasi hanya bisa terjadi apabila ada tenaga kerja yang dipertukarkan dalam sistem upah. Hanya saja, sejarah kolonialisme yang berbeda di tiap daerah membuat pengorganisasian produksi pertanian menjadi lebih rumit dari sekadar pemilik tanah mempekerjakan tenaga kerja upahan di mana dia sendiri yang mengontrolnya.

Pluralitas kelasBernstein memperkenalkan proyek kolonial sebagai akar dari introduksi kapitalisme di wilayah-wilayah koloni. Puncaknya terjadi di abad XIX dan XX ketika terjadi konsolidasi untuk membuka investasi skala besar bagi perkebunan tanaman ekspor. Perkebunan membutuhkan tenaga kerja murah yang dikerahkan dari petani gurem dan tunakisma. Prosesnya pun tak kalah kejam, misalnya perbudakan dan kerja paksa.

Sementara itu, proyek skala besar yang dikenal sebagai “rezim pangan internasional” kian membesar dalam dua abad ini. Tahun 1870 ditandai dengan pengerahan produksi bagi konsumsi komoditas tropis di Eropa, seperti gula, kelapa sawit, karet, kapas, cokelat, dan teh. Rezim pangan internasional kedua dimulai pasca Perang Dunia II dengan kemunculan Amerika Serikat sebagai negara adikuasa yang memperkenalkan modernisasi pertanian melalui input pertanian pabrikan. Jual beli input pertanian dibungkus instrumen developmentalisme berjuluk Revolusi Hijau.

Tahun 1970, rezim pangan internasional masuk melalui deregulasi peran negara. Semua kegiatan ekonomi mengalami finansialisasi yang terbuka bagi mekanisme pasar bebas. Pada momen ini, subsidi input pertanian yang mendukung Revolusi Hijau dipangkas sementara ekspor tanaman komoditas digenjot. Kondisi ini mengakibatkan akses petani terhadap tanah kian terdesak seiring gelombang politik konsesi berskala besar yang mengancam tanah mereka. Di satu sisi, kemampuan petani mengolah tanah untuk produksi pangan kian hilang. Di sisi lain, sebagian kecil dari mereka makin lihai berspekulasi dalam jual beli tanaman komoditas ekspor.

Di bagian akhir elaborasinya, Bernstein menunjukkan bahwa tidak semua petani kecil dengan reproduksi sederhana menghilang. Sebagian dari mereka mampu mengakses tanah karena patronase politik, atau karena posisi tertentu berbasis jender, ras, etnisitas, dan kasta. Persoalan ini membuahkan pertarungan kelas di pedesaan yang kian kentara tetapi bertambah kompleks. Bernstein memiliki kontribusi besar untuk menjelaskan kompleksitas dinamika kelas pedesaan dengan lebih jernih alih-alih sekadar menarasikan pertarungan petani versus kapitalis.

Poin penting ini seharusnya menjadi pengingat bahwa intervensi apa pun di pedesaan harus mengindahkan pluralitas kelas pedesaan. Hal ini juga berlaku untuk kebijakan land reform yang kini dijalankan pemerintah. Pengertian dangkal tentang “petani penggarap” yang menjadi kriteria pemerintah harus dipertanyakan agar kebijakan land reform tidak menjadi intervensi yang “buta kelas”. Alih-alih ia harus diarahkan untuk menyasar secara selektif variasi kelas pedesaan dalam rangka mendukung proses “akumulasi dari bawah” yang berbasis konstituen yang luas di pedesaan.

Naskah ini pernah terbit di Harian Kompas pada 24 Januari 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara

Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li STPN 14 Desember 2016 Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara. Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perd

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan

Frontier dan Hikayat Katingan

Pengertian kawasan frontier, dalam nalar “pusat dan periferi”, “tradisional dan modern” serta “rural dan urban”, sepertinya perlu kita baca kembali mengingat perubahan yang berlangsung carut-marut hari ini. Sebagai contoh, di Yogyakarta, pendirian apartemen dan hotel bak jamur di musim hujan, tidak pernah peduli peruntukan tata ruangnya entah pemukiman, persawahan, atau tangkapan air. Dampaknya? Mungkin kita tidak asing melihat seorang bapak tua terengah menuntun sepedanya yang dipenuhi rumput pakan kambing, sementara sebuah mobil Alphard melewatinya penuh angkuh. Mungkin, kita juga tidak asing dengan perempuan paruh baya yang membawa tumpukan cucian kotor melewati pagar gelap setinggi lima meter, pemisah antara kampungnya dengan perumahan elit di mana mobil Alphard itu berasal. Pemandangan itu demikian lumrah hingga lama-kelamaan dianggap tidak pernah ada. Kita mengalami ketercerabutan dari sebuah ruang yang selama ini dianggap mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari tapi t