Langsung ke konten utama

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis




Buku “Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear.[1] Persinggungan Koentjaraningrat terhadap Karl Heinrich Marx tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM.
Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke-mandeg-an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan dari subjek penelitian antropologi pasca kolonial (Barnard, 2009: 74−76). Demikian juga dengan PPTAM, ke-mandeg-an itu disebabkan oleh beberapa asumsi dari positivisme dan fungsionalisme yang melanggengkan kolonialisme. Pertama, subjek penelitian merupakan orang-orang tanpa sejarah.[2] Kedua, asumsi bahwa sistem sosial berjalan harmonis dan setara. Ketiga, asumsi bahwa kehidupan sosial digerakkan oleh struktur pikiran manusia secara nirsadar. Lalu pertanyaannya, mengapa positivisme yang saat itu sedang diperdebatkan justru menjadi kemudi bagi Antropologi Indonesia periode 1970-an? Sekalipun tidak menjawab pertanyaan ini, namun buku ini mampu memberikan latar belakang historis bagi perdebatan paradigma periode 1970-an.
Ketiga, alih-alih membahas materialisme−historis dan ekologi budaya ala Marvin Harris dan Julian Haynes Steward, PPTAM justru menuliskan antropolog yang menggunakan marxisme dan strukturalisme secara bersamaan. Bagi PPTAM, materialisme Marx tak bisa dimaknai vulgar dengan membangun asumsi bahwa fenomena budaya dipengaruhi oleh kondisi material objektif. Sementara apa yang disebut struktur dalam pandangan fungsional−struktural juga tidak bisa naif dengan hanya mendorong antropolog melakukan kerja-kerja penyalinan model organisasi sosial sebagai sesuatu yang riil dan pasti (Ortson dalam Mulyadi dan Khu, 2014: 29). Oleh karena itu, dengan menggabungkan materilineal yang tidak vulgar dan strukturalisme yang tidak naif, PPTAM menyajikan analisa para antropolog marxis−strukturalis sebagai solusi krisis paradigma antropologi.
PPTAM tersusun dalam enam bab dan satu bab pendahuluan. Satu bab pertama menceritakan Marx sebagai seorang Antropolog lewat gagasannya tentang materialisme. Selanjutnya, setiap empat bab berikutnya menuturkan empat antropolog, antara lain Maurice Godelier, Claude Meillassoux, Michael Taussig, dan Marshall David Sahlins. Keempat antropolog itu memulai kajiannya dengan refleksi atas aktivitas ekonomi masyarakat pra-kapitalis yang dianggap masih lemah di dalam kajian Marx. Lalu bab terakhir, menuliskan tentang pengaruh Marx dalam strukturalisme Claude Lévi-Strauss.
Struktur dalam Marxisme dan Strukturalisme
PPTAM menulis para antropolog yang dipengaruhi marxisme dan strukturalisme secara bersamaan. Marxisme memahami budaya sebagai supra-struktur yang berdialektika dengan infrastruktur.[3] Maka, apa yang disebut sebagai struktur merupakan formasi sosial yang dipengaruhi oleh aktivitas ekonomi (Friedman, 1974: 445; Abdulgani, 2014: 205). Sementara strukturalisme memahami budaya layaknya bahasa yang strukturnya membentuk pola dan bersifat nirsadar. Lewat kombinasi keduanya, maka struktur sebagai realitas nirsadar didudukkan sebagai dialektika antara basis material dan basis kultural.
Lantas, struktur seperti apa yang dimaksud dalam dua paradigma di atas? Mengapa PPTAM menyajikan keduanya bersama-sama? Apa konsekuensinya dalam kajian antropologi? Untuk menjawab ini, saya mencoba mengelaborasi pemahaman saya dari dua esai dalam PPTAM tentang materialisme Marx (Mulyanto, 2014) dan pengaruh Marx dalam antropologi Lévi-Strauss (Abdulgani, 2014).
Bagi Lévi-Strauss, realitas empiris dalam fenomena budaya harus diungkap melalui struktur. Hal ini berkaitan dengan minat Lévi-Strauss terhadap riset tentang susunan kekerabatan dan mitos. Ada dua asumsi yang harus diperhatikan dalam pandangan Lévi-Strauss tentang struktur. Pertama, Lévi-Strauss mengasumsikan bahwa struktur bersifat nirsadar. Maka untuk memahaminya, struktur harus dikonstruksi menjadi model (Abdulgani, 2014: 218). Hal ini dilakukan Lévi-Strauss dengan mengasumsikan realitas budaya sebagai realitas bahasa (Ahimsa-Putra, 2006: 66).
Kedua, pemodelan bahasa membuat struktur diposisikan dalam relasi antar unsur. Apa yang terjadi dalam fenomena bahasa terjadi juga dalam fenomena budaya. Semisal, dalam logika bahasa, istilah tertentu bisa dimaknai dan menjadi jelas maksudnya bila disandingkan dengan istilah lain. Relasi itu kemudian berulang dan membentuk keteraturan, logika inilah yang disebut sebagai sistem transformasi (Ahimsa-Putra, 2006: 61). Menurut Friedman (1974), konsep transformasi digunakan untuk melihat representasi sosial. Contohnya, konsep tersebut bisa digunakan untuk menjelaskan perubahan dari nilai tukar (exchange value) sebagai nilai guna (use value) menjadi bagian dari nilai jual (market value) (Friedman, 1974: 449). Istilah sistem transformasi inilah yang disama-artikan dengan dialektika dalam marxisme. Sebab, keduanya memiliki kesamaan prinsip untuk melihat relasi antar unsur yang membentuk struktur (Abdulgani, 2014; Mulyanto, 2014; Friedman, 1974; Bandyopadhyay, 1972).
Sementara dari kacamata marxisme, fenomena budaya merupakan realitas material. Walau demikian, bukan berarti realitas material seperti kondisi ekologi memiliki pengaruh linear terhadap pranata sosial. Ada beberapa asumsi yang dibangun Marx, seperti disebutkan Mulyanto (2014) dalam PPTAM. Pertama, Marx mengasumsikan bahwa struktur dibentuk realitas eksternal dengan realitas material seperti aktivitas produksi dan reproduksi kebudayaan untuk kekuatan produksi. Kedua, relasi yang dimaksud bersifat dialektis dan bergerak dalam kontradiksi internal.
Asumsi kedua Marx tentang dialektika menjadi poin penting untuk tidak mereduksi hubungan antara realitas material dan realitas budaya sekadar kausalitas. Di sini, realitas budaya seperti kesadaran kelas dikondisikan oleh realitas material seperti aktivitas ekonomi manusia-manusianya. Maka untuk mengubah kondisi material harus mengubah kesadaran demikian pula sebaliknya. Relasi dialektis itu bersifat historis dan kontekstual (Mulyanto, 2014: 51).
Kombinasi marxisme dan strukturalisme menyajikan fenomena budaya yang tidak abstrak tetapi juga tidak sekedar memotret hubungan sebab akibat antara realitas material dan realitas kultural. Titik temu kedua paradigma itu, sebagaimana disebut oleh PPTAM, terletak pada konsep dialektika. Penggunaan dialektika membuat pemahaman terhadap struktur tidaklah sederhana. Bagi marxisme, filsafat dialektika digunakan untuk melihat relasi internal antara realitas material dan realitas budaya dalam ranah produksi (Mulyanto, 2014: 49−50). Sementara Friedman (1974) membahasakannya sebagai relasi kontradiktif di dalam formasi sosial yang dibentuk oleh ranah produksi (infrstruktur) dan budaya (supra-struktur). Cara mengungkap dialektika inilah yang disepakati Lévi-Strauss lewat pembuatan model struktur dan dialektika yang pembentuknya. Dengan demikian struktur bukan semata-mata realitas empiris, tetapi model yang dibangun atas realitas empiris (Abdulgani, 2014: 222).
Dari Mulyanto (2014) dan Abdulgani (2014), saya mencoba menyarikan beberapa poin untuk memahami maksud struktur dalam PPTAM. Pertama, struktur sosial tidak bersifat statis karena dipengaruhi oleh dialektika antara realitas material dan realitas budaya. Kedua, dialektika itu bersifat kontradiktif sehingga memunculkan model yang saling beroposisi satu sama lain. Misal, kelas kapitalis dan kelas pekerja atau masyarakat pra kapitalis dan masyarakat kapitalis[4]. Ketiga, melalui pengabstraksian dengan menggunakan model, struktur tidak hanya dipandang sebagai realitas yang empiris saja. Kebenaran justru tersembunyi di balik sesuatu yang tersurat. Dengan demikian, baik strukturalisme maupun marxisme mengasumsikan bahwa individu-individu dibentuk oleh struktur tanpa disadari.

Para Antropolog Marxis–Strukturalis
Riset-riset yang ditulis oleh PPTMA berkaitan dengan gagasan Lévi-Strauss untuk menjelaskan supra-struktur masyarakat. “Marx hanya berfokus pada aspek infrastruktur, maka Lévi-Strauss menganggap bahwa … tugas antropolog adalah menjelaskan aspek suprastruktur,” (Mulyanto dan Khu, 2014: 30). Para antropolog PPTAM ini juga meneruskan ketertarikan Lévi-Strauss pada fenomena budaya masyarakat yang disebut Marx sebagai pra-kapitalis. Keyakinannya, proses kapitalisme di berbagai belahan dunia tidaklah sama. Maka tugas lain para antropolog yang tersirat dalam PPTAM adalah mengidentifikasi bentuk kapitalisme dan dialektika masyarakat subjek penelitian dengan kapitalisme.
Antropolog pertama adalah Mourice Godelier dengan penelitiannya pada Orang Baruya di Papua New Guinea. Pengaruh Marx dan Lévi-Strauss membuatnya memiliki asumsi tentang nalar tertentu yang tersembunyi di balik aktivitas ekonomi (Ermandana, 2014: 73). Godelier memberikan nuansa pada analisanya tentang struktur dominan seperti struktur politik, struktur kekerabatan, struktur religi dan struktur determinannya yakni struktur ekonomi.
Godelier menuliskan etnografi tentang uang garam yang berasal dari surplus aktivitas produksi Orang Baruya. Ia mencari penjelasan tentang perubahan dari garam yang dipertukarkan (commodity – commodity) menjadi garam sebagai alat tukar (commodity – money – commodity). Surplus garam diubah menjadi uang karena kebutuhan Orang Baruya terhadap mantel kulit babi dan alat produksi pertanian yang tidak dihasilkan sendiri. Orang Baruya juga menggunakan garam untuk membayar jasa dukun.
Pengorganisasian produksi garam dilakukan orang-orang yang dianggap memiliki sihir, setiap desa berjumlah tiga orang. Mereka tekun dalam mengolah tanaman garam (coix gigantea) menjadi garam selama lima hingga enam hari (Ermandana, 2014: 90). Kemampuan pengolahan garam yang terbatas, membuat jumlah barang yang dihasilkan ranah produksi juga terbatas. Maka saat garam terdistribusi ke komunitas lain, garam-pun memiliki peran yang sentral. Realitas empiris tentang garam ini menunjukkan bahwa kondisi material mempengaruhi distribusi komoditas. Lalu, distribusi inilah yang mempengaruhi hubungan antar komunitas. Komunitas di luar Orang Baruya menerima transaksi garam karena dianggap langka dan berharga. Hubungan Orang Baruya dengan komunitas lain inilah yang membuat garam berubah menjadi nilai tukar.
Godelier menggambarkan kolaborasi strukturalisme dan marxisme lewat penjelasan tentang transformasi komoditas garam yang dipertukarkan menjadi nilai tukar itu sendiri. Aktivitas ini mempengaruhi struktur kekerabatan, politik dan religi yang sayangnya tidak dielaborasi lebih lanjut dalam PPTAM.[5] Ketertarikan tentang struktur kekerabatan juga terlihat dalam etnografi Claude Meillassoux tentang Orang Gouro. Perbedaannya, Meillassoux tak hanya menyoroti dinamika internal komunitas, tetapi juga titik temu antara masyarakat berbasis kekerabatan dengan konteks kuasa pasca kolonial yang disebutnya sebagai analisa artikulasi.
Meillassoux memulai analisa artikulasi karena ketidakpuasannya terhadap teori ketergantungan yang menyamaratakan pengalaman kapitalisme di tingkat lokal. Pertama, dia mendekati masyarakat di negara pasca kolonial dengan mengasumsikan bahwa formasi sosial terbentuk karena pertautan antar moda produksi (Mulyanto, 2014: 116). Kedua, pertautan antar moda produksi hanya bisa dipahami lewat perkembangan historis masyarakat pra kapitalis. Untuk asumsi ini, Meillassoux memotret perubahan relasi sosial serta perjuangan kelas dalam struktur junior−senior yang merupakan representasi masyarakat pra kapitalis.
Orang Gouro merupakan komunitas subsisten[6] yang mengatur aktivitas produksi lewat relasi junior−senior. Moda produksi ini terjadi pada era pra-kolonial. Pertukaran barang dilakukan karena penghormatan terhadap senior, pernikahan atau dipicu oleh kelebihan produksi. Ketika kolonialisme Perancis merangsek masuk pada aktivitas produksi Orang Gouro, transformasi pun terjadi. Penetrasi kapital dalam kolonialisme telah memperkuat produksi komoditas internasional untuk menyokong sistem kolonial. Pengorganisasian kerja pun berubah menjadi upahan. Orang Gouro membudidayakan kopi dan kola untuk kepentingan kolonial, ditandai dengan transaksi barang lewat uang modern. Masyarakat menerima uang karena adanya mekanisme paksaan pemerintah kolonial untuk membayar pajak. Perubahan inilah yang dilihat Meiilassoux sebagai analisa artikulasi. Di akhir penjelasannya, Mulyanto (2014) menjelaskan bahwa tujuan analisa Meillassoux adalah menunjukkan paradoks dari perpaduan dua moda produksi Orang Gouro. Para buruh di perkotaan dibayar sangat murah karena mereka dianggap mampu mengakses pangan dari desa tanpa harus membeli.
Analisa artikulasi moda produksi Meillassoux ini telah menunjukkan bahwa pengalaman kapitalisme Orang Gouro dimulai saat proses kolonisasi. Proses transformasi terjadi karena hadirnya komoditas baru yang membutuhkan intensifikasi kerja dan pemusatan kapital di tangan pemilik perkebunan. Kajian tentang pertemuan masyarakat pra kapitalis dengan ekonomi kapitalis pada masa kolonial dan pasca kolonial juga ditunjukkan oleh dua antropolog berikutnya yakni Michael Taussig dan Marshall David Sahlins.
Michaell Taussig mendedikasikan diri sebagai antropolog yang mempelajari orang-orang di pinggiran sistem kapitalisme global. Ia melakukan studi tentang petani di Amerika Latin. Ia melakukan studi tentang mitos seperti perjanjian dengan iblis agar menjadi kaya raya muncul bersamaan dengan proses proletarisasi petani-petani di Bolivia atau Kolombia (Khu, 2014: 141). Cerita yang disajikan Taussig berlaku seperti narasi tandingan untuk menjelaskan akumulasi kekayaan kapitalisme yang dimulai pada masa pemerintah kolonial.
Taussig menyebut kajiannya sebagai “politik kegelapan epistemik” (Khu, 2014: 143). Ia menulis etnografinya tentang Jose Gracia, seorang dukun Indian Putumayo. Di depan kolonialisme, penduduk pribumi diasosiasikan dengan kebuasan dan kanibalisme. Para dukun inilah yang kemudian menggunakan proyeksi atas dirinya untuk melawan kolonialisme. Sekaligus menjadi bahasa bagi realitas kejam yang membinasakan buruh-buruh tambang dan perkebunan kolonial (Khu, 2014: 148).
Masih dalam tema yang sama, Taussig juga mempelajari tentang mimesis, mengadopsi sifat dasar dari budaya lain, dengan melihat arca kayu dari Orang Kuna di Kolombia. Arca kayu itu tidak bisa dilihat sepenuhnya sebagai artefak primitif. Sebaliknya, arca itu justru menjadi representasi dari perjumpaan Orang Kuna dengan kolonialisme. Bangsa terjajah mereproduksi gestur dan figur lalu menjadikannya sebagai bagian dari karikatur atau bahkan representasi teror.
Taussig menceritakan bahasa bangsa terjajah dalam menunjukkan representasi kekuasaan kolonial atau perjuangan atas penjajahan. Bahasa-bahasa seperti dukun, sihir dan arca gaib menjadi simbol yang tak bisa dilepaskan dari struktur utara dan selatan. Di sinilah letak relevansi Taussig dengan etnografi sebelumnya dari Godelier dan Meillassoux. Ia mengambil proses dialektika berupa mimesis dari bangsa terjajah dalam rangka melawan bangsa penjajah. Selain Taussig, Marshall Sahlins juga memberi perhatian besar pada bahasa bangsa-bangsa terjajah. Tidak seperti Taussig, perhatian itu ia ungkap dengan mendekonstruksi pandangan umum bahwa masyarakat pra kapitalis bukanlah manusia ekonomi.
Sahlins mengelaborasi pendapatnya dengan membangun argumentasi tentang “masyarakat pemburu−peramu sebagai masyarakat makmur” Mengapa? Sebab masyarakat pemburu−peramu bisa memenuhi kebutuhan anggotanya secara mudah. Hal ini berbeda dengan logika ekonomi yang bias barat bahwa, “keinginan manusia tidak terbatas, sedangkan sumber daya yang tersedia terbatas.” Padahal keinginan manusia yang merupakan demandekonomi bersifat sangat relatif. Gagasan inilah yang diargumentasikan oleh Sahlins.
Bagi Sahlins, apa yang dimaksud kebudayaan adalah dorongan untuk mengatur properti di lingkungannya. Oleh karenanya, budaya ekonomi bersifat tak sadar karena tak ada satupun individu yang sadar tentang sesuatu di balik pilihan rasional mereka. Sahlins menunjukkan bahwa budaya Orang Kung yang berburu−meramu memiliki keragaman makanan karena jumlah flora dan faunanya. Dari hasil risetnya, Sahlins menyebutkan bahwa Orang Kung hanya membutuhkan tenaga kerja 1 orang untuk memberi makan empat hingga lima orang dengan waktu kerja dua setengah hari untuk kebutuhan seminggu. Orang Kung juga menunjukkan ketidakpedulian terhadap surplus karena rasa percaya sepenuhnya terhadap sumber daya alam. Budaya lain yang bias barat justru menganggap Orang Kung dengan keberlimpahan sebagai kelompok rawan kelaparan. Paradoks inilah yang dibaca oleh Sahlins. Kategori miskin pada akhirnya bukan karena sedikit banyaknya relasi manusia dengan sumber daya alam dan keinginan. Kemiskinan justru lahir karena relasi antar manusia dan status sosial dalam proses penciptaan peradaban.
Selain itu, Sahlins juga menggunakan strukturalisme Lévi-Strauss untuk memahami bahwa budaya bukanlah barang yang terisolir. Ia menolak anggapan bahwa para masyarakat bangsa terjajah bersifat pasif terhadap paksaan kolonial. Kolonialisme justru lahir dari penerimaan rasional dan produktif para petani atas peluang yang ditawarkan kepada mereka. Teori Raja Asing menantang oposisi biner dari tradisi versus modernitas, nasionalisme versusimperialisme. Di sini Teori Raja Asing juga memiliki fungsi untuk menentang teori lain yang menyimpulkan bahwa kolonialisme merupakan proses perlawanan dari masyarakat pribumi terhadap agresi militer yang terus-menerus. Menurut Sahlins, kaum penjajah tidak hanya meraih otoritas melalui kekuatan militer tetapi juga melalui aliansi politik dan kolaborasi diplomatik. [ ]
10 Agustus 2014
* Antropolog

Tulisan ini pernah diterbitkan bersama kawan-kawan Etnohistori melalui laman 
https://etnohistori.org/membaca-para-antropolog-marxis-strukturalis-ulasan-buku-oleh-ciptaningrat-larastiti.html

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara

Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li STPN 14 Desember 2016 Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara. Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perd

Frontier dan Hikayat Katingan

Pengertian kawasan frontier, dalam nalar “pusat dan periferi”, “tradisional dan modern” serta “rural dan urban”, sepertinya perlu kita baca kembali mengingat perubahan yang berlangsung carut-marut hari ini. Sebagai contoh, di Yogyakarta, pendirian apartemen dan hotel bak jamur di musim hujan, tidak pernah peduli peruntukan tata ruangnya entah pemukiman, persawahan, atau tangkapan air. Dampaknya? Mungkin kita tidak asing melihat seorang bapak tua terengah menuntun sepedanya yang dipenuhi rumput pakan kambing, sementara sebuah mobil Alphard melewatinya penuh angkuh. Mungkin, kita juga tidak asing dengan perempuan paruh baya yang membawa tumpukan cucian kotor melewati pagar gelap setinggi lima meter, pemisah antara kampungnya dengan perumahan elit di mana mobil Alphard itu berasal. Pemandangan itu demikian lumrah hingga lama-kelamaan dianggap tidak pernah ada. Kita mengalami ketercerabutan dari sebuah ruang yang selama ini dianggap mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari tapi t