Langsung ke konten utama

Hi Smith!

Lewat buku The Wealth of Nations, Smith mendeklarasikan ekonomi independen yang ditandai lewat kelahiran Revolusi Industri. Ekonomi dan kemakmuran tidak hanya dimiliki aristokrat tetapi juga setiap individu. Sesuai jamannya, Smith sengaja menulis untuk membebaskan orang-orang biasa yang bekerja 16 jam sehari. Ia ingin mengubah sistem ekonomi penyokong perbudakan dengan menganggap bahwa perekonomian akan berkembang pesat bila para aristokrat ini berekspansi. Dimulailah penjelajahan dan eksplorasi ke negara-negara tak bertuan untuk mencari komoditas dagang. Bagi Smith, semakin banyak orang berpindah tempat, tanpa ada pembatasan perdagangan antar negara maka perekonomian semakin maju (khusus negara eropa). Dimulailah perpindahan modal para partikelir ke belantara hutan tropis untuk menemukan berbagai macam komoditas mentah yang gratis karena penjajahan. 

Gagasan Smith banyak membincangkan perekonomian negara dan individu, para orang kulit putih. Pertama, kekayaan negara berasal dari produksi dan perdagangan. Kedua, puncak kemakmuran bisa diperoleh dari pembebasan ekonomi inidividu. Artinya setiap individu berhak untuk membeli barang dari manapun, sekaligus menyimpan, menginvestasikan dan mengakumulasi modal tanpa batasan dari pemerintah. Bagi Smith, kebebasan setiap individu pada dasarnya bersifat terberi. Ia menyebut itu sebagai natural liberty.

Natural liberty bisa juga dimaknai sebagai sistem ekonomi yang memudahkan setiap individu mendapatkan keinginan (self-interest) melalui mekanisme kompetisi (self-regulating). Kata self- membayangkan sistem ekonomi akan bekerja secara “otomatis” untuk menemukan “harmonisasi”. Oleh karena itu dibutuhkan tiga hal yakni kebebeasan (freedom), kompetisi (competition)dan keadilan (justice).  Secara gamblang, Smith menggambarkan situasi yang kompetitif bagi setiap keinginan individu, baik pekerja, pemilik tanah dan kapitalis, dengan tak melalaikan keadilan.

Bagi Smith, sistem ekonomi yang berjalan natural dan harmonis tak bisa dilepaskan dari konsep fenomenalnya yakni “the invisible hand”. Konsep itu menjadi simbol bekerjanya ekonomi pasar sebagaimana ilmu alam (Sylikoski dalam Skounsen, 2007). Sayangnya, Smith seperti yang dituliskan kembali oleh Skounsen (2007) tidak banyak membahas bagaimana sistem bisa berjalan harmonis bagi setiap keuntungan individu. Lagi-lagi, ia menekankan bahwa keadilan bisa terjadi berdasarkan asas moral setiap individu.

Gagasan Smith beranjak dari asumsi yang positivis. Ia menganggap fenomena ekonomi seperti fenomena alam yang berjalan “otonomatis”. Alih-alih menekankan pada keadilan, ia justru menganggap bahwa individu-individu dalam sistem akan berjalan harmonisasi. Periode Smith itu pulalah ditandai Wolf (2010) sebagai titik pijak atas pertukaran komoditas khusus sekaligus dominasi ekonomi negara atas negara dan kolonial atas koloninya. Sebuah paradoks bahwa ekonomi yang bebas, kompetitif dan adil hanya mengakibatkan ketidakadilan pada kelompok lain seperti negara koloni pada abad 18. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara

Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li STPN 14 Desember 2016 Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara. Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perd

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan

Authoritarian and paternalism in Indonesian peasant cooperative: A former plantation workers’ cooperative from the 1950s to the neoliberal era

Abstraction This paper examines the dilemmas of a former plantation workers’ cooperative attempting to develop an egalitarian and self-managed agrarian community in the face of persistent military influence in Indonesian’s rural areas. These dilemmas are related to the question of how the ex-worker community shapes and is shaped by exclusionary politics as their cooperative shifts from a peasant political movement into an instrument of capitalistic relations of production. The paper focuses on an ex-plantation workers’ cooperative in West Java (Indonesia) which has been struggling since the rise of the socialist movement in the 1950s. At that time, the plantation workers occupied the former colonial rubber plantation and initiated land reform for the subsistence plots of landless households. The rest of the undistributed land was maintained as an independent cooperative owned and managed by the members under the guidance of the Indonesia Peasant Movement (GTI), a movement inspi