Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2014

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan

Hi Smith!

Lewat buku The Wealth of Nations, Smith mendeklarasikan ekonomi independen yang ditandai lewat kelahiran Revolusi Industri. Ekonomi dan kemakmuran tidak hanya dimiliki aristokrat tetapi juga setiap individu. Sesuai jamannya, Smith sengaja menulis untuk membebaskan orang-orang biasa yang bekerja 16 jam sehari. Ia ingin mengubah sistem ekonomi penyokong perbudakan dengan menganggap bahwa perekonomian akan berkembang pesat bila para aristokrat ini berekspansi. Dimulailah penjelajahan dan eksplorasi ke negara-negara tak bertuan untuk mencari komoditas dagang. Bagi Smith, semakin banyak orang berpindah tempat, tanpa ada pembatasan perdagangan antar negara maka perekonomian semakin maju (khusus negara eropa). Dimulailah perpindahan modal para partikelir ke belantara hutan tropis untuk menemukan berbagai macam komoditas mentah yang gratis karena penjajahan.  Gagasan Smith banyak membincangkan perekonomian negara dan individu, para orang kulit putih. Pertama, kekayaan negara berasal dari

New Frontier: Perampasan Tanah Berjuluk Krisis Energi dan Pangan

Di Indonesia, istilah “ frontier ” semakin familiar sejak kehadiran buku Anna Lowenhaupt Tsing,  Friction: An Ethnography of Global Connection  (2005). Secara etimologis, “ frontier ” berarti ‘zona perbatasan’. Namun, pengertian “ frontier ” di sini tak sekadar pengertian geografis. Saya menyepakati Tsing kala memahami “ frontier ” sebagai proses akumulasi kapital dari pencerabutan masyarakat yang diimajinasikan primitif ( primitive ) dan biadab ( savage ) terhadap kawasan hutan tempat mereka hidup. Akumulasi juga ditandai dengan ekstraksi sumberdaya alam di zona yang seolah-olah tak beraturan. Ketidakberaturan itu lahir karena kolaborasi antara aktor legal dan ilegal, bandit dan pemodal, sehingga menyegerakan transformasi atas sumberdaya di kawasan yang dipandang milik publik ( common property ) (Tsing, 2005: 27–28). Deskripsi “ frontier ” memang lekat dengan Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, hingga Papua, yang diimajinasikan sebagai bank sumberdaya tak terbatas bagi pembangunan. Tsi