Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Balada Raskin

Siang terik di kaki Pegunungan Sewu tanah-tanah gerang karena hujan tak kunjung datang. Tak hanya tanah saja yang merekah, pohon jati juga meranggas serasa enggan mengulas senyum. Tiada bosan matahari menyengat bumi kars Pegunungan Sewu selama lima bulan ini. Walau begitu para petani masih rela berjalan tanpa alas kaki, membawa caping dan karung seadanya untuk mencari pakan bagi ternak mereka. Padahal rumput-rumput di gunung kars sudah mengering tiada memberi gizi bagi kambing para petani. Maka di siang inilah aku berdiri menatap gersang yang tak pasti. Awan cerah memang tak mampu mengulum senyum bagi bapak dan ibu yang hadir di depanku. Mereka bergeliat menantang kerja di ladang yang tak kunjung dilakukan. Namun apa daya, hawa masih panas karena musim labuh tak segera tuntas. "Niki sampun gawe lalahan, nunggu jawah nembe ngawu-awu, (Ini sudah menyiapkan tanah di ladang, menunggu hujan baru nanti menyebar bibit,) ” ungkap salah satu petani. Walau ladang telah disiapkan dan p

Jari-jari Lentik Buruh Rokok

November 2010 saya pergi ke salah satu kota di Jawa Timur untuk melakukan riset mengenai petani dan buruh tembakau. Tentu saja saat berbicara buruh tembakau yang terbayang pastilah sekelompok remaja putri lulusan SMP dan SMK atau ibu muda, syukur-syukur para ibu berusia 40 tahun yang masih dipercaya oleh pabrik untuk bekerja. Merekalah perempuan-perempuan terpilih yang dianggap memiliki kemampuan khusus untuk memproduksi rokok secara cermat, teliti, rajin dan cepat. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar industri rokok atau mitra produksi rokok, menjadi buruh rokok mungkin sebuah pilihan hidup atau bahkan keberuntungan. Dengan berdirinya pabrik-pabrik rokok maka angkatan kerja perempuan akan terserap dalam jumlah banyak. Lambat laun, industrialisasi membuat nilai perempuan di mata masyarakat juga meningkat. Mereka tak hanya seorang perempuan dengan kewajiban manak, masak lan macak . Kini mereka menjadi ‘terbebaskan’ dengan kemandirian ekonomi dari upah menjadi buruh linting pabr

Lumbung, Budaya Tani yang Redup

Setiap orang memiliki hak untuk kenyang. Dan petani sebagai produsen pangan, seharusnya selalu kenyang dan berkecukupan. Namun kondisi tersebut jarang terjadi, karena tidak semua petani memiliki tanah luas untuk menghasilkan surplus panen. Banyak dari mereka terhimpit dalam kehidupan subsisten, hari ini makan beras besok makan ubi atau tidak makan sama sekali. Kekhawatiran petani terhadap kelaparan inilah yang menuntut mereka hidup dalam batasan aman. Lalu mengapa petani sebagai penghasil pangan justru sangat rentan kelaparan?             Menyambung sedikit mengenai kerentanan di kalangan petani ada sebuah fakta ironis yang melatarbelakangi hal tersebut. Petani kini terjebak pada sebuah mekanisme rumit, salah satunya ditunjukan dengan kecenderungan mereka untuk mengurangi kelaparan dengan menjadi buruh-buruh di kota. Budaya tani kian hari dimusnahkan. Situasi tersebut seoleh membenarkan ucapan Marx pada 1846 melalui Manifesto Partai Komunis, bahwa kapitalisme membuat ketergant