Langsung ke konten utama

Balada Raskin

Siang terik di kaki Pegunungan Sewu tanah-tanah gerang karena hujan tak kunjung datang. Tak hanya tanah saja yang merekah, pohon jati juga meranggas serasa enggan mengulas senyum. Tiada bosan matahari menyengat bumi kars Pegunungan Sewu selama lima bulan ini. Walau begitu para petani masih rela berjalan tanpa alas kaki, membawa caping dan karung seadanya untuk mencari pakan bagi ternak mereka. Padahal rumput-rumput di gunung kars sudah mengering tiada memberi gizi bagi kambing para petani.

Maka di siang inilah aku berdiri menatap gersang yang tak pasti. Awan cerah memang tak mampu mengulum senyum bagi bapak dan ibu yang hadir di depanku. Mereka bergeliat menantang kerja di ladang yang tak kunjung dilakukan. Namun apa daya, hawa masih panas karena musim labuh tak segera tuntas.

"Niki sampun gawe lalahan, nunggu jawah nembe ngawu-awu, (Ini sudah menyiapkan tanah di ladang, menunggu hujan baru nanti menyebar bibit,) ungkap salah satu petani. Walau ladang telah disiapkan dan pupuk kandang sudah disebar namun para petani tidak berani mengira-kira datangnya hujan. Tentu saja mereka ketakutan dengan ancaman puso. Tahun lalu saja mereka sudah gagal panen jagung dan padi karena hujan yang menahun. Kini mereka tak ingin mengulang pengalaman kelam itu. Akhirnya yang terjadi hanya keragu-raguan, siapkah mereka menyebar benih hari itu padahal matahari masih terik?

Akibat dari keraguan itu para petani pun mengalami kamandegan. Padahal kemandegan sama artinya dengan kelaparan. Mandeg ini adalah berhenti bercocoktanam. Sama halnya dengan berhenti berpenghasilan. Padahal musim panen ketela sudah usai. Tak banyak juga yang mau menyimpan ketela dan mengolahnya menjadi gaplek. Maka yang terjadi sekarang, kala musim labuh tak segera mencirikan tanda datangnya hujan, adalah paceklik. Para petani susah makan di lumbung pangan. Ketela tak lagi menjadi prioritas karena beras sudah tanak dalam benak petani lahan kering. Aneka umbi-umbian pun hilang dalam kenangan mereka. Beras lah yang dipilih. Lalu saat asupan beras langka, pemerintah justru menawarkan sebuah keniscayaan tentang pangan. Inilah raskin, alias beras miskin. Sebuah tajuk yang membuat ironi kala Si Miskin adalah petani.    

Siang hari di bulan Oktober. Teringat aku tentang titen para petani lahan kering, “Nek sasi masehi wis akhiran –(m)ber berarti bumine wis kudanan. (Kalau bulan masehi sudah berakhiran –ber, September, Oktober, November, Desember, maka bumi sudah hujan.)” Tapi ternyata tidak, prediksi mereka meleset. Mau tidak mau tak ada cadangan pangan di rumah limasan. Tanduran marengan, tanaman yang ditanam saat musim pancaroba, sudah habis dijual guna mencukupi kebutuhan bulan berikutnya. Lalu apa daya dan apa salah jika tak sedikit dari petani Pegunungan Sewu yang mengandalkan raskin alias beras miskin untuk makan sehari-hari. Hal ini dilakukan karena mereka tak mampu nempur (membeli) beras yang harganya mencapai 8.500 rupiah perkilogram. Sementara raskin, jika gak ditilep, menawarkan beras dengan harga 1.600 rupiah perkilogram. Padahal raskin pun masih menjadi pengecualian bagi beberapa pihak. Hanya Si Miskin saja yang berhak membeli raskin. Bukan Si Tengah apalagi Si Kaya. Stop!

Bicara raskin memang bukan suatu hal yang menyenangkan. Program yang dimulai sejak 1998 ini merupakan salah satu tindakan darurat yang dilakukan pemerintah. Awalnya tujuan dari raskin adalah program darurat (social safecty net) namun kian lama beralih peran menjadi program perlindungan sosial (social protection programe)[1]. Pertimbangan mengenai penentuan sasaran raskin memang bukan hal sepele. Mulanya penentu sasaran program diambil dari kategorisasi masyarakat yang dibuat oleh BKKBN, namun sejak 2007 Bulog menggunakan kategorisasi ala BPS. Persoalannya, raskin bagi masyarakat miskin adalah laten! Silahkan hitung saja dana APBN yang dialokasikan untuk raskin. Lantas seberapa relevankah program ini dapat mengurangi kelompok rentan di masyarakat kita? Nol, nisbi, fana, omong kosong. Titik. Itu saja.

Lantas silahkan pernyataan diatas ditafsirkan. Bisa jadi kalimat itu terucap karena kekecewaan terhadap pemerintah, bisa pula karena program ini memang tak bertaji. Satu hal yang perlu diperhatikan, bagaimana makna sasaran raskin bagi si miskin ini dipersepsikan? Lalu bagaimana seharusnya pemerintah bertindak terhadap si miskin?

Tidakkah program raskin ini penuh cacat. Keluhan pertama, beras ini penguk. Keluhan kedua, datangnya tak pasti. Ketiga, sasarannya tidak jelas. Keempat, raskin itu candu.

Perlukah ditekankan kepada pemerintah bahwa ‘mengelola’ si miskin tidak sesederhana seperti memampatkan mereka dalam daftar adnimistatoral dan angka statistik semata. Tak kalah pentingnya, perlulah ditekankan bahwa mereka hadir sebagai kemanusiaan yang sejalan dengan ekosistemnya. Sanggupkah jika persepsi selama ini diubah, “si miskin tidak harus hidup dengan beras bantuan, bukankah mereka bisa hidup dari ekosistemnya?”

Kembali ke seting di atas, kala matahari terik dalam pertemuan bersama perwakilan penerima program raskin. Mereka berkata bahwa tiap tahun penerima raskin selalu berkurang. Jika di tahun 2010 ada 41 penerima miskin lantas tahun 2011 berkurang menjadi 35 warga tiap dusun. Ini semisal. Lantas klaimnya adalah pemerintah sudah ‘mengurangi’ angka kemiskinan dengan memberikan kecukupan ‘gizi’ beras kepada si miskin.

Namun yang terjadi, seraya menutup mata pemerintah justru tidak melihat bahwa 6 warga ‘bukan penerima raskin’ kian merana. Mereka terbiasa menerima raskin dan tak sesederhana itu menghilangkan “candu” raskin dalam hidupnya. Padahal si 6 warga ini tak lain adalah kelompok rentan pula. Masyarakat secara sadar, bersandar pada kepekaan tentang lingkungannya, pun berkata bahwa kelompok yang oleh pemerintah dianggap ‘kurang miskin’ merupakan kelompok miskin. Misalnya, mereka yang hanya memiliki tanah di bukit-bukit kars. Bukit kars adalah area kurang produktif bagi pertanian sehingga si pemilik atau penyewa bukit kars seringkali merupakan kelompok rentan.

Ah, sudahlah aku lelah menulis tentang raskin. Cukup sudah, aku hanya ingin berkata bahwa raskin bukanlah solusi. Raskin hanyalah politik beras gaya baru yang manipulatif. Raskin adalah proyek paketan yang justru menunjukkan ketidakmampuan pemerintah menjamin masyaraka rentan pangan.

Maka matahari yang terik menjadi saksi bisu dari ketidakpedulian pemerintah dalam menjamin kedaulatan produksi pangan lokal. Sementara di balik meja, aparat pemerintah justru berpusing dengan jumlah raskin yang akan ditimbun.  Padahal masalah para petani itu berjubel entah cuaca, pupuk, benih dan harga jual panen yang tak sebanding dengan kerja mereka setahun. Namun kegusaran itu hanya ditutup dengan raskin. Raskin...

Yogyakarta, 09 Oktober 2011.

C. Larastiti
Terurai saat nafasku kering.




[1] http://www.bulog.co.id/sekilasraskin_v2.php diakses pada 09 Oktober 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara

Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li STPN 14 Desember 2016 Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara. Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perd

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan

Authoritarian and paternalism in Indonesian peasant cooperative: A former plantation workers’ cooperative from the 1950s to the neoliberal era

Abstraction This paper examines the dilemmas of a former plantation workers’ cooperative attempting to develop an egalitarian and self-managed agrarian community in the face of persistent military influence in Indonesian’s rural areas. These dilemmas are related to the question of how the ex-worker community shapes and is shaped by exclusionary politics as their cooperative shifts from a peasant political movement into an instrument of capitalistic relations of production. The paper focuses on an ex-plantation workers’ cooperative in West Java (Indonesia) which has been struggling since the rise of the socialist movement in the 1950s. At that time, the plantation workers occupied the former colonial rubber plantation and initiated land reform for the subsistence plots of landless households. The rest of the undistributed land was maintained as an independent cooperative owned and managed by the members under the guidance of the Indonesia Peasant Movement (GTI), a movement inspi