Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2014

New Frontier: Perampasan Tanah Berjuluk Krisis Energi dan Pangan

Di Indonesia, istilah “ frontier ” semakin familiar sejak kehadiran buku Anna Lowenhaupt Tsing,  Friction: An Ethnography of Global Connection  (2005). Secara etimologis, “ frontier ” berarti ‘zona perbatasan’. Namun, pengertian “ frontier ” di sini tak sekadar pengertian geografis. Saya menyepakati Tsing kala memahami “ frontier ” sebagai proses akumulasi kapital dari pencerabutan masyarakat yang diimajinasikan primitif ( primitive ) dan biadab ( savage ) terhadap kawasan hutan tempat mereka hidup. Akumulasi juga ditandai dengan ekstraksi sumberdaya alam di zona yang seolah-olah tak beraturan. Ketidakberaturan itu lahir karena kolaborasi antara aktor legal dan ilegal, bandit dan pemodal, sehingga menyegerakan transformasi atas sumberdaya di kawasan yang dipandang milik publik ( common property ) (Tsing, 2005: 27–28). Deskripsi “ frontier ” memang lekat dengan Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, hingga Papua, yang diimajinasikan sebagai bank sumberdaya tak terbatas bagi pembangunan. Tsi