Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2012

Sekumpulan Pecundang yang Telanjang

Apa guna punya ilmu tinggi Kalau hanya untuk mengibuli Apa guna banyak baca buku Kalau mulut kau bungkam melulu ... Di mana-mana moncong senjata Berdiri gagah kongkalikong dengan kaum cukong (Wiji Tukul, Apa Guna) Kala Wiji Tukul membuat sajak itu Mungkin tak terbayangkan olehnya tentang masa di mana manusia Indonesia bebas bicara Saat aku, kamu dan mereka bertatap muka saling kritik, saling cerca, saling sungging Mungkin tak terbayangkan pula olehnya, orang-orang lihai berbincang aneka persoalan Membaca dan beretorika tanpa beradu moncong senapan Sebuah hari saat manusia Indonesia bebas mengumpat dan mencaci penguasa Bertindak layaknya bulus dan berdiplomasi di depan tong-tong ketidakberdayaan Mungkin tak terbayangkan pula olehnya, orang-orang menulis demi komoditi Kala teori dan metodologi meletakkan manusia ke dalam laboratorium percobaan Diamati dan direkam, seolah instrumen penelitian baku menjadi pijakan Mungkin tak terbayangkan o

Siapa Bunuh Siapa?

          Sudah satu minggu lebih warga Desa Tiron di lereng Wilis disibukkan oleh bisik-bisik penemuan mayat perempuan di sungai. Kala ditemukan, mayat itu sudah membiru dan terbungkus dengan serampangan di dalam karung. Kalau tak ada orang yang memancing di sungai mungkin mayat itu sudah dimakan kuthuk , dimakan buaya atau dibawa banaspati ke peraduannya. Satu orang berteriak, “ mayit, mayit, mayit .” Tak kurang dari lima menit kemudian, kerumunan orang pun terbentuk. Aku menjadi salah satu dari mereka, sumpah serapah pun ikut kuucapkan ketika bau yang dihasilkan teramat menyengat. Bau kematian. Inilah pertama kalinya aku melihat mayat, teramat menjijikkan bentuknya. Perutnya lembek, beberapa ekor belatung sudah menggerogoti ususnya. Sementara payudara si mayat tampak layu dan kusut, mungkin karena sudah tidak ada air susu untuk ditopang. Wajah perempuan itu pun tampak lebam keungu-unguan disertai dengan kepala yang botak, tidak cantik. Entah mengapa kerumunan itu semakin liar ta

Sepanjang Lorong Merah

Ciptaningrat Larastiti Yogyakarta, 30 September 2010 Di penghujung bulan September tahun lalu, aku bertanya kepada vaginaku. “Hai Kembang-ku, apa yang kamu pikirkan tentang hari ini? Pernahkah kamu mengingat sebuah masa di mana kita menjadi layu?”  Vaginaku diam. Pendengarannya memang sudah tak setajam dulu ketika ia masih ranum. Aku pun bersabar lalu mengulang pertanyaan serupa. Namun ia hanya menggeliat. Aku memahami perasaannya, mungkin saja ia mulai merasa tak berguna semenjak tubuhku berhenti menstruasi. Aku memang menopause sebelum usiaku menginjak empat puluh tiga. Bukan karena alat kontrasepsi yang menghambat rembesan darah keluar dari vaginaku. Bukan itu, toh selama ini aku tak bersuami. Memang ada sebab lain yang akan kuceritakan kembali padanya. Sebuah cerita tentang penetrasi yang menekan Kembang-ku kuat-kuat. Tercekik dan tak bergerak...                                                                     **** ” Gendjer... Gendjer... isuk-isuk didol ning pasar