Langsung ke konten utama

Sekumpulan Pecundang yang Telanjang



Apa guna punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa guna banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
...
Di mana-mana moncong senjata
Berdiri gagah kongkalikong dengan kaum cukong
(Wiji Tukul, Apa Guna)

Kala Wiji Tukul membuat sajak itu
Mungkin tak terbayangkan olehnya tentang masa di mana manusia Indonesia bebas bicara
Saat aku, kamu dan mereka bertatap muka saling kritik, saling cerca, saling sungging

Mungkin tak terbayangkan pula olehnya, orang-orang lihai berbincang aneka persoalan
Membaca dan beretorika tanpa beradu moncong senapan

Sebuah hari saat manusia Indonesia bebas mengumpat dan mencaci penguasa
Bertindak layaknya bulus dan berdiplomasi di depan tong-tong ketidakberdayaan

Mungkin tak terbayangkan pula olehnya, orang-orang menulis demi komoditi
Kala teori dan metodologi meletakkan manusia ke dalam laboratorium percobaan
Diamati dan direkam, seolah instrumen penelitian baku menjadi pijakan

Mungkin tak terbayangkan olehnya, manusia terdidik mengobral kemiskinan di lobi hotel yang dingin
Memberangus data menjadi lembar-lembar laporan indah nan ideal

Bertolak dan berkaca dibalik topeng kebodohan
Mereka berdiskusi variabel kemiskinan di kursi empuk dengan sepiring roti dan segelas susu

Orang-orang berambut pirang terbahak bersama yang berambut hitam
Membawa laptop untuk mereka-reka deret angka kesejahteraan

Mereka adalah bos intelektual
Kerjanya, membuat proposal dan menjual kepapaan
Seringkali, tanpa basa basi mengendarai mobil pribadi dari hasil kesukaran orang

Lalu, disekitar bos intelektual, lahirlah kumpulan pecundang
Mereka merasa dirinya sengsara namun enggan lari dari kenyataan
Apapun dikompromikan, harga diri dipertukarkan, kemaluan dipertontonkan

Di dalam mimpiku, para pecundang berjalan dengan mulut terkatup, mata buta, hidung tersumbat, telinga tuli.
Perih
Aku kasihan, para bos masih tertawa menghitung deret nol yang terpakir di rekeningnya

Sementara berlembar-lembar instrumen penelitian bertengger di pundak pecundang
Mata mereka lebam namun tetap berjalan sembari meraih asa yang tak jua datang

Para bos berkata kepada pecundang, “Ini semua demi pengembangan ilmu pengetahuan.”
Para pecundang mengangguk dan mengiyakan
Padahal jual-beli semata, data itu juga

Kembali variabel-variabel itu dibincangkan sesuai dengan kebutuhan bos berambut pirang
Mulut-mulut disumbat demi lembaran uang dolar, “Kalian tidak boleh mengkritik.”
Para pecundang semakin kisut sementara perut bos intelektual membesar

Andaikata Wiji Tukul masih hidup, apa yang akan ia katakan?
Saat manusia bebas bicara maka paradoks menjadi kemutlakan
Uang


Yogyakarta, 20 April 2011
Kenangan dibalik meja pelatihan
Bersama teman-teman surveyor (“kesejahteraan”)SAKERTIM

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara

Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li STPN 14 Desember 2016 Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara. Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perd

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan

Authoritarian and paternalism in Indonesian peasant cooperative: A former plantation workers’ cooperative from the 1950s to the neoliberal era

Abstraction This paper examines the dilemmas of a former plantation workers’ cooperative attempting to develop an egalitarian and self-managed agrarian community in the face of persistent military influence in Indonesian’s rural areas. These dilemmas are related to the question of how the ex-worker community shapes and is shaped by exclusionary politics as their cooperative shifts from a peasant political movement into an instrument of capitalistic relations of production. The paper focuses on an ex-plantation workers’ cooperative in West Java (Indonesia) which has been struggling since the rise of the socialist movement in the 1950s. At that time, the plantation workers occupied the former colonial rubber plantation and initiated land reform for the subsistence plots of landless households. The rest of the undistributed land was maintained as an independent cooperative owned and managed by the members under the guidance of the Indonesia Peasant Movement (GTI), a movement inspi