Langsung ke konten utama

Siapa Bunuh Siapa?



          Sudah satu minggu lebih warga Desa Tiron di lereng Wilis disibukkan oleh bisik-bisik penemuan mayat perempuan di sungai. Kala ditemukan, mayat itu sudah membiru dan terbungkus dengan serampangan di dalam karung. Kalau tak ada orang yang memancing di sungai mungkin mayat itu sudah dimakan kuthuk, dimakan buaya atau dibawa banaspati ke peraduannya.
Satu orang berteriak, “mayit, mayit, mayit.” Tak kurang dari lima menit kemudian, kerumunan orang pun terbentuk. Aku menjadi salah satu dari mereka, sumpah serapah pun ikut kuucapkan ketika bau yang dihasilkan teramat menyengat. Bau kematian. Inilah pertama kalinya aku melihat mayat, teramat menjijikkan bentuknya. Perutnya lembek, beberapa ekor belatung sudah menggerogoti ususnya. Sementara payudara si mayat tampak layu dan kusut, mungkin karena sudah tidak ada air susu untuk ditopang. Wajah perempuan itu pun tampak lebam keungu-unguan disertai dengan kepala yang botak, tidak cantik. Entah mengapa kerumunan itu semakin liar tatkala mayat itu diangkat dari sungai dan diletakkan di bawah pohon Beringin. Para ibu ketakutan, seolah membayangkan bahwa korban berikutnya adalah dirinya. Sementara remaja putri pun tak kalah histeris, mereka berteriak “Darah!” sembari menunjuk vagiana si mayat. Suasana menjadi beringas, namun tak ada satu orang pun yang menyingkir.
Wah saiki wong wedhok yo! (wah, sekarang perempuan ya!)” ujar bapak sembari menyembunyikan kepalaku di balik sarungnya. Mungkin ia berpikiran bahwa aku ketakutan, namun tidak. Aku hanya jijik tapi rasa penasaranku lebih tinggi, bau dan tubuh mayat itu membuat adrenalinku berdenyut keras.
Ning koran wingi yo ono berita mayit petrus, (di koran kemarin juga ada berita tentang mayat petrus –penembak misterius-)tegur paklik Kardi. “Tapi korbane lanang, nganggo tato ning tangan. Jarene wong-wong, mayite bekas maling. (tapi korbannya lelaki, ada tato di tangan. Kata orang-orang mayat itu bekas pencuri.)” 
“Lha sing iki nyapo wong wedhok yo, padahal kan maling-maling biasane lanang, (yang ini kenapa perempuan ya, padahal kan pencuri itu biasanya lelaki,) sahut Pak carik yang tampak masih terengah karena usai memanggil polisi.
Polisi berdatangan, mereka membawa mobil boks dan mengangkut mayat itu. Bau dari tubuh yang lembek seperti tak jadi persoalan bagi polisi, mereka tampak terbiasa. Sepertinya, semua orang juga memaklumi itu. Sudah lebih dari satu tahun ini banyak mayat ditemukan di daerah kami. Desa Tiron yang jauh dari kota rupa-rupanya menjadi maghnet bagi para penumpas kejahatan bersenjata pistol untuk membuang para kriminal ke gunung-gunung. Cerita tentang mayat-mayat itu pun terdengar lebih mencekam dari pada cerita orang-orang tua tentang banaspati.
Esok harinya, mayat yang ditemukan di sungai itu sudah menjadi berita utama di koran. PELACUR JUGA INCARAN PETRUS. Demikian judul berita yang tertulis. Saat itu aku tak menyangka bahwa mayat perempuan yang ditemukan warga Tiron itu adalah pelacur. Desa pun menjadi semakin ribut, bisikan para ibu hingga obrolan para bapak tak pernah lepas dari tema itu.
“Gusti Alloh, tibakno lonthe to, (Gusti Allah, ternyata pelacur,) ” gumam Mak Yem.
Pantesan lek ditembak, tibakno wong wadhon gak kebener. Apiklah nek petrus nembak wong-wong sing koyo ngono, ben desone dewe tentrem, (Pantaslah kalau ditembak, ternyata memang perempuan tidak benar (tak bermoral). Bagus juga kalau petrus menembak orang-orang yang seperti itu, agar desa kita tentram),” balas Mbokdhe Jum.
 “Iyo yu, ben bojone dewe gak sembarangan dolanan wong wadhon liyane, (benar mbak, biar suami kita juga tidak bermain perempuan lain,)” ucap ibu dan kubalas anggukan. Sejak kecil aku sudah tahu bahwa bapak sering main dengan perempuan lain, ia biasanya pergi ke kuburan cina –di sana memang banyak rumah-rumah bambu para pelacur- yang letaknya kurang dari empat kilometer dari desa kami.
Mungkin wong wadhone ki soko bung cino kae yo? (Mungkin mayat itu dari kuburan cina itu ya?)” tanya Mak Yem.
“Mungkin, lha ceritane ki wong-wong sing ning kono kae ra gelem digusur. Terus mbuh kepiye, kacek pirang dino wis ono mayit wong wadhon kae. (Mungkin, lha ceritanya itu orang-orang di sana –kuburan cina- tidak mau digusur. Terus entah bagaimana, jarak beberapa hari saja sudah ditemukan mayat perempuan itu.)”
Dari hari ke hari cerita tentang mayat itu semakin santer. Bagi anak-anak, cerita itu menjadi semacam ketakutan alternatif ketika kisah hantu banaspati –hantu penghisap darah- sudah tak layak lagi menjadi teror. Pocong, kuntilanak dan wewe gombel, sudah kehilangan ruangnya untuk menakut-nakuti. Orang lebih tertarik dengan “siapa tokoh dibalik layar pembunuhan para penjahat itu”. Maka senja pun mulai ramai oleh orang-orang bergosip, anak-anak masih asyik bermain dan berlarian. Mereka tidak takut lagi dengan wewe gombel yang siap menculik anak-anak di kala senja, mereka tidak takut malam yang menjadi jagad memedhi. Dari hari ke hari masyarakat kian percaya bahwa segala ketakutan dan kekhawatiran bisa ditumpas oleh peluru. Keamanan desa akan selalu terjamin karena petrus tidak pernah tidur, karena para penembak tidak takut malam dan karena para penjahat sudah hilang.  
Semenjak kisah mayat Desa Tiron itu, koran-koran pun semakin sering memberitakan mayat perempuan telanjang terapung di sungai. Cerita tentang kematian para perempuan itu kian nyaring seiring dengan kisah penggusuran lokalisasi. Ada penolakan, ada pula pembunuhan. Para ibu pun merasa kegirangan melihat suami-suami mereka betah di rumah saat malam hari. Bahkan ibuku juga menikmati itu. Pada beberapa kesempatan ia selalu menyindir bapak, “Mas ora arep dolan ning bong cino maneh to. Kae wis digusur (Mas, tidak akan main ke kuburan cina lagi kan. Itu kan udah digusur),” tegur ibu. Seketika bapak pun membuang mukanya dan pergi. Sementara ibu semakin puas dengan kemenangannya.
***
  Senja pada hari kamis, para warga kembali membentuk kerumunan di bawah pohon. Santer terdengar kabar bahwa anak pak Bayan menemukan karung berisi mayat di depan rumahnya. Satu, dua dan lima menit kemudian, halaman rumah yang luas itu dipenuhi oleh warga. Aku juga di sana tentunya. Ibu mengikutiku di belakang sambil membawa damar, ia juga tak kalah antusias dengan yang lain.
Tak satupun orang yang berada di sana berani membuka karung itu. Mereka merasa tak punya wewenang. Tugas membuka karung berisi mayat ini adalah urusan polisi. Bagi warga Tiron, mengurus mayat-mayat liar merupakan tanggung jawab besar dan itu hanya bisa dilakukan oleh pasukan berseragam saja. Di satu sisi mereka takut kalau nanti terkena tulah jika serampangan mengurus mayat yang bukan keluarganya.
Hari semakin petang namun karung itu masih terbungkus rapi. Bisik-bisik terjadi lagi, kerumunan itu menebak-nebak, “Mayat siapakah itu.” Di satu sisi mereka takut, di sisi lain penasaran. Maka di hati paling terdalam, mereka pun beraharap bahwa karung itu berisi tetangganya sendiri. Seperti ibu yang membisikkanku, “mugo-mugo isine mbok Mur yo! (Semoga isi karung itu mayatnya Mbok Mur ya!)” Aku terkejut, ibu ternyata memiliki pikiran semacam itu. Ia pun bercerita padaku bahwa dua hari yang lalu ia dipermalukan di depan ibu-ibu karena sudah tiga bulan tidak bisa membayar cicilan utang.
Suara sirine mobil pun mengejutkan warga. Pasukan bergeragam segera mengamankan lokasi. Garis kuning diatur sedemikian rupa sehingga kerumunan warga tidak bisa mendekati mayat lebih dari tiga meter. Seperti mendapat santapan baru, salah satu polisi buru-buru melepas ikatan karung dan mengeluarkan isinya.
     Namun hampir seluruh orang di sana berteriak, “Wedhus! (Kambing!)”. Tak satupun dari mereka melihat mayat manusia tergeletak di sana. Hanya kepala kambing yang mampu menunjukkan bahwa daging yang terpotong-potong itu adalah kambing, bukan manusia. “Jancuk! Tak pikir opo. (Jancuk, kupikir apa.)”
Kerumunan pun bubar, meninggalkan kegeraman di hati masing-masing orang. Mungkin mereka menyesal bahwa tubuh yang tercincang itu bukan tetangga mereka yang diharapkan mati, bukan pula penjahat atau pelacur seperti selama ini. Tidak, karena itu hanya kambing.
Paling kae gaweane pak Bayan yo, (mungkin itu kerjaan –keisengan- pak Bayan ya)” ujar ibu, di balik damar yang dibawanya.
Iso ugo dekne mung pengen gawe bingung masyarakat, (Bisa jadi dia hanya ingin membuat bingung masyarakat,)” tambah Mak Yem.
Dan mereka pun berjalan di tengah dingin pegunungan Wilis. Ibu menggandengku bergegas menuju rumah. Namun aku terkejut, tampak bola api berputar-putar di langit. Aku pun menegur ibu untuk melihat ke atas. Seketika itu ia menyeretku dan berjalan semakin cepat. Begitu pula Mak Yem yang berlari menuju rumahnya tanpa berkata apapun.
Esok harinya, berita tentang bola api itu terdengar heboh. Ternyata tak hanya aku, ibu dan Mak Yem saja yang melihat. Lebih dari sepuluh orang melihat bola api itu dan tentu saja ini membuat masyarakat ketakutan. Ya, bola api itu bisa berarti ndaru -yang biasa membawa tulah-, bisa pula berarti banaspati –setan penghisap darah-. Tak seorang pun tahu karena bisik-bisik itu kembali merekat.
Satu persatu dari  warga Desa Tiron mulai ketakutan. Di satu sisi mereka kebingungan karena petrus pun tak bisa memasuki dunia dedemithan. Sementara tuturan tentang ndaru dan banaspati pun tak kalah menakutkan dengan teror pistol. Bagi mereka, dhemit lebih tak pandang bulu dalam mencari korban, kalau petrus bisa pilih-pilih korban. “Lha piye gak wedhi to, kan petrus mung mateni korak karo lonthe. (Lha gimana gak takut, kan petrus hanya membunuh preman dan pelacur)”
Aku pun mengiyakan, bagiku ndaru lebih mengerikan. Bahkan Pak Lurah pun menyangkutpautkan ndaru dengan pembantaian kambing di depan rumah Pak Bayan. Mungkin para dhemit itu merasa tersaingi oleh petrus sehingga mereka membuat teror lagi untuk warga kampung sini.  
Tiap malam, ronda pun dilakukan. Aku terkadang ikut berkeliling desa dengan bapak. Sementara di rumah ibu terlelap bersama simbang kakung.
Pemandangan desa di malam hari memang mengerikan. Aku berkeliling dengan sarung dan kentongan bambu di tangan. Jalanan yang menanjak terasa tak lebih melelahkan dari pada melihat desa yang mencekam. Tak satu pun mulut para bapak ini berbicara. Hingga umpatan Pak Bayan terlontar ketika mendengar letusan, “Jancuk, opo kae? (Jancuk, apa itu?)
Suasana kembali hening, tak satu pun dari peserta ronda menjawab umpatan Pak Bayan. Di benak mereka hanya berharap segera menuntaskan tugas ronda itu secepat mungkin. Aku pun gemetaran di samping bapak. Selain karena dingin, namun ketakutan seperti lebih menguasaiku.
Aku hanya berpikir bahwa letusan itu tentu tak sekedar pekerjaan iseng pemuda ketika bermain mercon. Pikiran-pikiran liar itu semakin membuatku ketakutan. Aku hanya membayangkan mayat. Semakin banyak mayat yang berputar di kepalaku, hingga aku pun menangis sesenggukan. Lalu para bapak memilih menghentikan ronda dan pulang ke rumah masing-masing.
Di depan rumah, bapak terkejut melihat bola api lagi. Kemarin kami –masyarakat Desa Tiron0 masih belum tahu bola api itu menandakan apa, entah ndaru atau banaspati, karena usai berita itu tak ada kejadian apapun. Kini bola api yang berbentuk ndaru itu jatuh tepat di atap rumah kami.
Aku pun berteriak, sementara bapak hanya komat-kamit membaca doa dan langsung mendobrak pintu. Di dalam rumah, kami hanya melihat ibu yang ketiduran di atas lincak bambu. Aku bersyukur karena ternyata ia masih bernafas, berarti ndaru tidak membunuhnya. Seketika bapak membangunkan ibu, demi memastikan bahwa ibu masih hidup.
Bu, tangi! ono ndaru ceblok nang duwur omahe dewe. Ndaru, bu! (Bu, bangun! Ada ndaru jatuh di atas rumah kita. Ndaru, bu!)” tegur bapak. Ibu pun bangun, seraya kebingungan, namun ia segera sadar ketika mendengar ndaru disebut-sebut.
Rona wajah ibu pun seketika pucat, ia teringat simbang kakung yang masih tidur di dalam kamar. Kami pun segera beranjak. Seketika itu juga kami telah menemukan simbah kakung tak bernafas. Wajahnya yang biru menampakkan rona terkejut. Ia seperti menahan sesuatu mencekik lehernya.
***
Keesokan harinya, berita kematian simbah kakung seperti berkejaran dengan ketakutan tiap orang pada ndaru. Simbah kakung dianggap kena tulah. Namun tak satupun tahu si pengirim ndaru, yang pasti ia tidak suka kalau simbah hidup. Hal ini tentu menjadi semakin mengerikan buatku.
Berita tentang kematian juga bertambah liar ketika mobil polisi tampak melewati jalan diantara kerumunan pelayat yang sedang memandikan jenazah simbah. Dengan sigap,polisi itu berkata bahwa di balik bukit sana telah ditemukan mayat perempuan lagi.
Sontak para pelayat pun berkerumun dan berbisik-bisik. Suara mereka seperti dengung lebah yang menambah kemuramanku hari ini. Kematian-kematian. Cerita itu seperti tak pernah selesai saja.
Aku mendengar salah satu ibu yang sedang membungkus kapur barus dengan kapas untuk jenazah simbah mengatakan bahwa mayat itu pasti berhubungan dengan suara letusan semalam. Ternyata tak hanya bapak-bapak ronda saja yang mendengar itu. Para ibu bercerita seolah mereka lah penemu pertama mayat itu.
Mesti sing ketembak lonthe meneh yo, wingi kae ning Kali Brantas yo tau ditemokke mayit wong tatoan. Jarene sih korak Semen kono kae! (Mungkin yang tertembak pelacur lagi ya, kemarin di sungai Brantas juga pernah ditemukan mayat orang bertato. Katanya sih preman dari Desa Semen sana).”
Yo ben korak lan lonthe mati kabeh, tapi kok petrus gak akeh bertindak ning Tiron iki yo. Malah ndaru sing ngancem awake dewe. (Ya, semoga preman dan pelacur itu mati semua. Tapi kok petrus tidak banyak bertindak di Tiron ini ya, kenapa malah ndaru yang mengancam kita).”
Lha petrus kalah karo ndaru kok, (Lha petrus kalah sama ndaru kok),” gurau salah satu dari para ibu seolah memecah ketegangan.
 Aku lelah, kematian simbah kakung seperti sebuah teror bagiku. Kesedihan bercampur dengan ancaman-ancaman untuk mati mengisi hatiku yang kecil ini. Seolah ada dua tangan besar yang bisa mencekiikmu kapanpun  dan dimanapun. Melihat dua kematian dalam waktu bersamaan seperti mencium aroma kematian di bawah hidungku. Aku tak pernah mengalami ini sebelumnya. Kupikir kematian adalah proses yang wajar, namun kewajaran-kewajaran itu menjadi hilang karena ndaru dan petrus. Seolah-olah keduanya meminta sebanyak mungkin ketakutan. Dan aku sekarang takut.

Masyarakat selama ini mendukung tindakan petrus untuk menumpas semua preman dan pelacur. Segala bentuk kriminalitas harus diberantas agar khalayak bisa hidup tentram dan aman. “Pokoknya sikat habis, kaya PKI dulu!” ujar Junaidi.  (Koran Wilis, 12 September 1983)

Mayat perempuan telanjang ditemukan mati. Diduga ia tertembak ketika mencoba lari dari kejaran polisi saat penggrebekan kawasan lokalisasi. (Koran Wilis, 30 September 1983)

Seoang pria bertato perempuan telanjang ditemukan mati di depan pasar Tiron. Pria itu diduga kuat adalah kriminal yang selama ini dicari oleh polisi karena kasus pencurian toko emas. Pria yang berjuluk Odin (23) ini mati mengenaskan dengan tangan menggenggam emas hasil curian. (Koran Wilis, 27 Oktober 2983)

Masyarakat Desa Tiron resah karena sudah dua minggu ini merasa diteror oleh pembantaian hewan ternak mereka. Hewan-hewan itu mati dalam kondisi mengenaskan dan terbungkus karung. Kemarin (29/10) Lurah Desa Tiron melaporkannya pada polisi. Ketika ditemui, Lurah Desa Tiron mengatakan bahwa masyarakat takut jika ternaknya menjadi korban banaspati –setan pemakan bangkai-. (Koran Wilis, 30 Oktober 1983)

Aku meletakkan beberapa edisi harian Koran Wilis di meja. Aku mendelik, ketakutanku kini sudah jinak. Aku tak lagi takut pada kematian, karena bagiku semua sama saja asal tidak mati di tangan ndaru ataupun petrus.
Lalu aku memandang sebotol air di depanku. Aku masih menimbang-nimbang untuk meminumnya. Namun masih juga kuurungkan niat itu. Aku pun teringat cerita ibu kemarin lusa, “Le, ibu wingi ndelok ndaru lewat pager umahe dewe meneh. (Le, ibu kemarin melihat ndaru lewat di pager rumah kita.)”
Aku tahu apa yang akan ibu bicarakan, ia tentu takut bahwa sewaktu-waktu ndaru itu menjadi tulah bagi keluarga kami. Tentu saja aku tak ingin bapak atau ibu yang mati, mereka masih berhak hidup panjang. Perasaan ini menjadi semakin tak adil ketika kepalaku menimbang-nimbang siapakah diantara kami yang layak untuk mati.
Lalu aku mengingat polahku dua hari lalu sebelum ndaru lewat di pagar rumah kami. Saat itu aku mencuri di pasar. Aku mencuri dompet seorang ibu yang memiliki lebih dari lima gelang emas di tangannya. Entah apa yang terlintas di kepalaku saat itu. Dan kini aku menyadari bahwa statusku sudah berubah menjadi “pencopet”. Tubuhku terguncang. Aku menyadari kejanggalannya, tiba-tiba terlintas di otakku tentang siapakah yang sepatutnya mati  di sini.
Seketika itu juga aku meneguk sebotol air yang telah kusiapkan di atas meja. Rembesan Baygon seketika menghentikan jantungku. Aku melayang dan melihat tubuhku lunglai. Aku bangga bahwa aku mati bukan karena ditembbak petrus atau kena tulah ndaru. Aku mati karena kemauanku sendiri. Aku bahagia...
Tapi saat itu juga aku menyesal ketika melihat ibu menangisi tubuhku...

Ciptaningrat Larastiti, Yogyakarta 15 Februari 2011
(tentang Status, Aroma dan Sekarat)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara

Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li STPN 14 Desember 2016 Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara. Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perd

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan

Authoritarian and paternalism in Indonesian peasant cooperative: A former plantation workers’ cooperative from the 1950s to the neoliberal era

Abstraction This paper examines the dilemmas of a former plantation workers’ cooperative attempting to develop an egalitarian and self-managed agrarian community in the face of persistent military influence in Indonesian’s rural areas. These dilemmas are related to the question of how the ex-worker community shapes and is shaped by exclusionary politics as their cooperative shifts from a peasant political movement into an instrument of capitalistic relations of production. The paper focuses on an ex-plantation workers’ cooperative in West Java (Indonesia) which has been struggling since the rise of the socialist movement in the 1950s. At that time, the plantation workers occupied the former colonial rubber plantation and initiated land reform for the subsistence plots of landless households. The rest of the undistributed land was maintained as an independent cooperative owned and managed by the members under the guidance of the Indonesia Peasant Movement (GTI), a movement inspi