Langsung ke konten utama

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara




Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li

STPN 14 Desember 2016


Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara.

Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perdesaan Asia Tenggara. Selama kuliahnya, ia kerap mencontohkan temuan-temuan dalam “Land’s End”, sebuah karya dari delapan tahun kerja lapangan Tania Li di Sulawesi Tengah. Sama dengan “Land’s End”, bagi saya “Power of Exclusions” menyimpan pesan untuk bersikap kritis terhadap segala kecenderungan simplifikasi dalam membaca dilema dan bentuk kekuasaan hubungan manusia dengan lahan. Buku yang dikerjakan bersama Philip Hirsch dan Derek Hall ini beranjak dari pertanyaan, “Bentuk kekuasaan dan proses seperti apa yang mengubah akses terhadap lahan di Asia Tenggara?”

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, saya ingin mendudukkan istilah eksklusi terlebih dulu sesuai catatan saya dalam kuliah Tania Li beberapa hari lalu. Ketika membaca bukunya, saya sendiri bertanya-tanya, “Mengapa Li, Hall dan Hirsch memilih menggunakan eksklusi untuk mengekspresikan perubahan hubungan manusia dan lahan di Asia Tenggara tinimbang istilah yang sebelumnya sudah ada seperti land acquisition, land grabbing, dispossession atau displacement?” Rasa penasaran ini pun sedikit terjawab lewat kuliah umum kemarin. Ia menjelaskan bahwa istilah eksklusi sengaja digunakan agar perubahan hubungan manusia dan lahan tidak selalu berkesan negatif –di mana masyarakat kalah dari proses perampasan lahan dan tranformasi kepemilikan–. Nuansa eksklusi justru diharapkan mampu menghadirkan daya bagi mereka yang marjinal agar berjuang mengamankan ruang hidupnya. Istilah ini juga bermakna pemosisian dan bersifat lumrah –bahkan berguna– dalam pemanfaatan lahan oleh petani. Ia mencontohkan,
“Bila saya petani ingin menanam tomat di kebun, jika saya tidak bisa mencegah akses orang lain maka saya tidak akan mendapatkan insentif apapun terhadap lahan tersebut. Saya harus ada kekuatan mengeksklusi orang lain untuk memanfaatkan lahan. Aspek ini belum tentu negatif, bahwa eksklusi itu salah. Ada aspek negatif, melainkan juga aspek positif bahwa kekuatan eksklusi yang membuat saya bisa menggunakan lahan tersebut. Ini hal biasa dan diperlukan.”
Sifat lumrah pada eksklusi ini dijelaskan dalam buku Power of Exclusions dengan istilah exclusions double edge atau wajah ganda eksklusi. Artinya, setiap pemanfaatan lahan produksi mau
tidak mau akan menghalang-halangi akses orang lain untuk menerima manfaat dari lahan tersebut. Wajah ganda eksklusi ini lah yang secara teoritis juga berarti kebalikan dari akses. Bila akses dimaknai sebagai kemampuan seseorang untuk mendapatkan keuntungan, maka eksklusi disinggung sebagai kekuatan penghambat dari akses seseorang terhadap sumber daya. Pertanyaannya kemudian, menyambung pertanyaan sebelumnya, “Siapa kah yang mampu membentuk akses terhadap lahan?” Pertanyaan tersebut bisa juga dituturkan sebagai bentuk-bentuk kekuasaan seperti apa yang mampu mengeksklusi liyan dalam mengakses pemanfaatan lahan.

Pertanyaan di atas dilontarkan Tania Li di depan mayoritas peserta kuliah umum yang sebagian besar adalah calon birokrat Badan Pertanahan Negara. Sebuah pertanyaan yang menggelitik lantaran ia menantang para calon birokrat bahwa segala macam legalisasi negara atas hak tanah bukan satu-satunya bentuk kekuasaan yang bekerja di masyarakat. Ia menjelaskan setidaknya ada empat bentuk kekuasaan yang memiliki kemampuan untuk mengeksklusi liyan, yakni: regulasi, pasar, paksaan –forces, dan legitimasi. Pun demikian dengan proses yang membentuk hubungan warga dengan lahan. Negara bukan satu-satunya aktor pembentuk akses terhadap lahan, setidaknya ada enam proses yang menjadi tren di Asia Tenggara selama dua dekade belakangan: formalisasi, konservasi lahan, ledakan komoditas tanam, zona ekonomi khusus, eksklusi yang berlangsung intim, dan klaim-klaim etnoteritorial.

Bentuk-bentuk Kekuasaan pada Power of Exclusions

Di bagian awal kuliahnya, Tania Li memilih untuk mendudukkan empat bentuk kekuasaan yang bekerja di kampung, dan seringkali saling tumpang tindih. Hal ini penting untuk memberikan pemahaman tentang pembeda-pembeda dari keempat bentuk kekuasaan tersebut. Posisinya cukup jelas, ia membantah anggapan naif bahwa negara adalah satu-satunya aktor yang berkuasa dalam mengatur dan membentuk hubungan warga dengan lahan. Walau demikian, negara –dengan bermacam keragamannya, Tania Li melalui artikel Beyond State pernah menjelaskan bahwa negara tidak monolitik– mampu menerbitkan beragam peraturan yang membebankan hak untuk mengeksklusi liyan. Salah satu contohnya ialah sertifikasi, perencanaan tata ruang, peraturan tentang adat istiadat, hingga peraturan tentang zonasi –segala produk kebijakan negara. Hanya saja, satu macam kekuasaan ini tidak bekerja sendiri di lapangan. Pada praktiknya, ia berkelindan dengan bentuk kekuasaan lain dan berpengaruh besar pada pembentukan hubungan manusia dengan lahan yakni pasar.

Pasar –saya lebih senang menggunakan istilah mekanisme pasar– mampu membentuk ketimpangan kepemilikan lahan dengan cara yang halus dan berlangsung diantara masyarakat sendiri. Analogi sederhana yang dipaparkan Tania Li adalah, “bila saya tidak punya uang, saya tidak bisa mengakses lahan yang dituntut uang dan sewa.” Di sini, lahan menjadi komoditas –tentu tidak lepas dari jaminan keamanan properti oleh negara, walau negara bukan satu-satunya aktor penjamin jual beli lahan–. Bentuk kekuasaan ini seringkali berkelindan dengan kekuasaan formal negara untuk menghasilkan beragam kekuasaan paksaan-forces yang kasar dan keras. Di perdesaan, beragam paksaan berupa pemagaran (enclosure), kekerasan oleh militer dan milisi sipil, pengusiran (displacement) atau alat-alat paksaan lain berlangsung cukup vulgar. Prosesnya pun tidak hanya dilakukan negara dan institusi pasar dalam rangka mendapatkan lahan skala luas, kekuasaan paksaan ini juga terjadi diantara warga desa sendiri. Salah satu yang dicontohkan Tania Li adalah,
“… Bila saya ambil lahan orang, ada kemungkinan si pemilik lahan akan membakar untuk menghilangkan tanda saya pernah menanam di sana. Ini paksaan dan kekerasan juga dengan menggunakan api untuk menghilangkan jejak saya.”
Ketiga bentuk kekuasaan itu kerap dituturkan melalui argumentasi-argumentasi guna menjelaskan alasan seseorang lebih berhak sementara yang lain tidak. Inilah bentuk kekuasaan keempat yang disebut dalam Power of Exclusions sebagai legitimasi. Beberapa contohnya antara lain legitimasi orang asli vs pendatang, legitimasi efisien dan modern vs tradisional dan tidak efisien, dan beragam cerita lain yang seringkali digunakan untuk meniadakan hak liyan dalam mengakses lahan. Empat bentuk kekuasaan ini, dalam prosesnya di lapangan, berlangsung saling dukung, tumpang tindih dan tidak berurutan. Keempatnya pun bisa terjadi hampir bersamaan dalam proses-proses perubahan hubungan manusia dan lahan yang akan dijelaskan berikut.

Proses-proses Eksklusi

Tania Li menjelaskan enam proses eksklusi yang menjadi tren di Asia Tenggara selama dua dekade belakangan. Pertama, proses eksklusi yang didasari formalisasi lahan. Di dalam buku Power of Exclusions, bagian ini dibahas di bab “Licensed Exclusions: Land Titling, Reform and Allocation”. Proses ini didorong rekonfigurasi negara, dan merupakan pekerjaan utama bagi adimistratur pertanahan. Bentuk kekuasaannya beragam, antara lain penetapan zonasi, tata ruang, sertifikat bahkan hutan adat, hutan komunal.

Kecenderungan ini tidak pernah surut, Tania Li juga menyebutkan bahwa Indonesia tengah banjir program formalisasi mulai dari program yang mencoba mengusir orang sampai program masyarakat adat. Buku ini tidak mengamini formalisasi, ia justru menggugat kecenderungan formalisasi dalam mensimplifikasi beragam bentuk hak yang rumit dan adaptif bagi komunitas menjadi sekedar hak jual beli dan hak guna. Demikian pula dengan surat legal formal yang membutuhkan nama definitif penyandang hak sehingga seringkali, sebagai contoh sertifikasi, menciutkan hubungan gender dan hubungan-hubungan lain. Perempuan tidak memiliki hak terhadap dokumen lantaran negara hanya mengakui nama kepala keluarga sebagai penyandang hak. Padahal secara informal, perempuan memiliki andil besar dalam pemanfaatan lahan. Namun dalam sertifiasi, hak perempuan menjadi sekunder dan pelan-pelan hilang. Dengan cara demikian, penyandang hak bisa terbebas dari peraturan lokal atau peraturan adat sebelumnya. Dokumen-dokumen sertifikasi juga terlihat sulit bagi mereka yang tidak bisa membaca dan menulis. Oleh karena itu formalisasi tidak bisa dilihat sekedar mengubah nama semata, melainkan juga mengubah bentuk kekuasaan terhadap lahan. Ini contoh di mana hak-hak formal menciptakan dilemma baru, apakah proses formalisasi akan memperkuat atau memperlemah posisi masyarakat?

Proses eksklusi kedua adalah perluasan untuk konservasi yang dibahas dalam bab “Ambient Exclusions: Environmentalism and Conservation”. Di bagian ini, Tania Li menyebutkan bahwa pengaturan lahan telah menyempitkan daya jelajah baru untuk produksi tanaman pangan. Lahan-lahan ekspansi pertanian semakin kecil karena dibatasi oleh kawasan-kawasan konservasi. Padahal tren terhadap pengaturan lahan komunal kian meningkat, seiring dengan wacana global terhadap jasa ekosistem. Salah satunya adalah eksklusi yang dilakukan program Reducing Emission Deforestation and Forest Degradation (REDD) yang membuat masyarakat tidak bisa mengakses lahan pertanian dan perladangan.

Proses eksklusi ketiga adalah ledakan komoditas tanam yang dibahas dalam bab “Volatile Exclusions: Crop Booms and Their Fallout”. Demam komoditas tanam bukan saja terjadi belakangan tapi sejak puluhan tahun lalu. Baik karet, kopi, kakao lalu hari ini sawit bukanlah komoditas yang secara drastis mengatus posisi lahan dan hubungan warga dengan lahan. Tania Li mengamatinya melalui introduksi pohon kakao di Sulawesi Tengah pada awal 1990an. Selama dua puluh tahun, seperti dijelaskan juga di Land’s End, Tania Li mengamati proses perubahan kepemilikan lahan yang didorong demam penanaman kakao. Proses eksklusi ini minim dipengaruhi pengaturan lahan oleh negara. Mekanisme pasar lah yang menyempitkan hak kelola warga, sekaligus menginterupsi hak-hak lain selain hak milik rumah tangga.

Saat memulai penelitian, Tania Li masih mendapati warga mengurus hak bersama atas lahan nenek moyang dengan menanami padi, jagung atau tanaman pasar yang masuk dalam siklus perladangan seperti tembakau, bawang, kacang dan lain-lain. Usai panen, hutan kembali ditumbuhkan untuk kemudian dimanfaatkan sanak saudara lainnya. Sirkulasi lahan ini berlangsung berabad-abad, lantas diinterupsi hanya seperkian dekade saja oleh tanaman komoditas kakao. Pohon ini menyurutkan siklus perguliran lahan hingga akhirnya tidak ada sama sekali. Pohon kakao membuat lahan yang bisa dikelola bersama menjadi dikelola pribadi-pribadi. Proses eksklusi seiring intensifikasi tanaman komoditas tidak lah didorong oleh perusahaan besar, melainkan terjadi diantara petani sendiri. Situasi ini didorong aspirasi petani untuk menjadi lebih baik dan meningkatkan taraf hidupnya. Hanya saja, aspirasi ini juga menghasilkan dilemma, sebagian dari mereka sukses dalam melakukan efisiensi produksi kakao sementara sebagian besar lainnya kehilangan hak untuk menanam jagung. Bila ada tetangga yang tidak pernah memupuk coklat, lantas datang kemarau panjang dan terpaksa mengambil hutang. Sementara hutang tidak bisa ditutupi, membuat mereka terpaksa menjual kebun ke tetangganya yang tak lain saudara sendiri.

Proses eksklusi keempat adalah imajinasi zona ekonomi khusus yang dibahas pada bagian “Post-agrarian Exclusiol1s: Land Conversion”. Proses ini tidak bisa lepas dari kekuasaan negara yang lebih memberikan ruang bagi perusahaan skala besar karena dianggap efisien dan menguntungkan. Di Indonesia, lebih dari 10 juta hektar perkebunan sawit telah tersedia dan rencananya akan diperluas sampai 20-30 juta hektar. Angga ini sangat luar biasa. Bila rencana ini terlaksana, maka seluruh keragaman perkebunan seperti karet, coklat dan pertanian ladang akan hilan dibawah payung sawit. Total rencana 20-30 juta hektar ini, 60% diantaranya dialokasikan untuk perusahaan besar, dan 40% untuk petani kecil. Hanya saja, perusahaan besar lebih cepat berkembang karena diberi ruang peraturan legal formal dan legitimasi kuat.

Wacana lanjutan yang kerap dihasilkan dari proses zona ekonomi khusus adalah perampasan tanah, pengambilan paksa lahan-lahan petani oleh pihak swasta. Contohnya di Kalimantan Barat, perusahaan membuldoser kebun-kebun karet milik warga yang masuk dalam kawasan konsesi perkebunan kelapa sawit. Mereka menggunaan kekuasaan paksaan untuk mengatur proses jual beli lahan agar tidak berlangsung seimbang. Jadi kedatangan perusahaan besar ini tidak jauh dari kekerasan dan pemaksaan pelepasan lahan. Lebih aneh lagi, kesempatan perluasan investasi skala besar dibuka seluas-luasnya oleh negara melalui serangkaian peraturan dan kadang dengan tentara, alih-alih proses pertukaran pasar. Terkadang, perusahaan juga membawa legitimasi kuat seperti pembangunan daerah dan penciptaan lapangan kerja yang realitasnya sangat timpang. Salah satu penjelasannya, karet menyerap satu tenaga kerja per satu hektar, sementara sawit hanya menyerap satu orang per lima hektar lahannya. Perkebunan sawit banyak mencaplok lahan namun tidak banyak menyerap tenaga kerja. Bahkan dari segi kualitas kerja pun berantakan. Mereka lebih memilih mengatur tenaga kerja dengan sistem outsourcing tanpa memperhatikan hak-hak tenaga kerja seperti sekolah, fasilitas kesehatan dan perumahan.

Proses eksklusi kelima, diceritakan Tania Li sebagai situasi yang muncul karena kerjasama beragam kekuasaan eksklusi yang menyudutkan rumah tangga petani paling marjinal. Bagian ini dibahas dalam bab “Intimate Exclusions: Everyday Accumulation and Dispossession”. Diskusi tentang eksklusi intim ini sangat penting agar tidak terjebak pada narasi-narasi besar bahwa eksklusi hanya dilakukan perusahaan besar terhadap rumah tangga petani. Seperti telah diceritakan bahwa eksklusi yang tajam juga terjadi diantara petani, terlebih saat lahan berubah menjadi komoditas. Eksklusi di sini dilakukan diantara kerabat dan saudara sendiri. “Apa yang saya pegang (lahan) sudah jatuh ke tangan tengkulak, yang bukan orang luar melainkan om saya sendiri. Eksklusi mengalir justru di kalangan masyarakat sendiri,” ujar Tania Li.

Proses eksklusi keenam adalah klaim-klaim etno territorial yang didasari pada wacana keaslian penduduk di kawasan tertentu. Bagian ini dibahas tersendiri di bukunya melalui bab “Counter-exclusions: Collective Mobilizations for Land and Territory”. Wacana tentang politik identitas keaslian dibahas dengan sangat hati-hati oleh Tania Li. Pengayaan legitimasi-legitimasi etno territorial ini menjadi semakin gencar lantaran lahan garapan semakin sempit. Argumentasi yang sering digunakan ialah masyarakat adat, putra daerah dan pengusiran transmigran, seolah warga setempat yang asli lebih berhak dibanding orang luar. Bagi Tania Li, wacana politik identitas ini bukanlah jawaban untuk memudahkan akses petani kecil terhadap lahan. Politik ini justru berwajah ganda dan seringkali menyulitkan penduduk yang sebelumnya tinggal berpindah-pindah dan tidak memiliki imaji terhadap teritori tertentu.

Kesimpulan

Diskusi tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi dan enam proses eksklusi memang tidak bisa dipotong-potong sekenanya. Seperti disebutkan Tania Li, diskusi ini perlu dimaknai sebagai upaya memahami masalah secara komprehensif. Negara tidak bisa semata-mata dilihat sebagai aktor tunggal dan peraturan tidak bisa dipandang naïf sebagai satu-satunya alat penting. Kita perlu melihat memiliki pengaruh besar lain yang mengatur posisi dan hubungan warga dengan lahan. Mekanisme pasar misalnya, bila jual beli berlangsung tanpa perlindungan kepada mereka yang lemah, hanya akan menghasilkan polarisasi akses diantara rumah tangga tani. Partisipasi pasar bukan berarti tanpa resiko kehilangan hak, sekaligus menstabilkan hak. Hubungan-hubungan dalam komoditas tanam juga membuka peluang petani pada posisi stabil agar mampu mewariskan akses terhadap lahan ke anak cucu. Pertanyaannya kemudian, bagaimana petani bisa distabilkan? Reforma agraria, bagi Tania Li, adalah jawaban kuncinya. Reforma agraria tidak bisa sekadar dimaknai sebagai formalisasi kepemilikan lahan, perlu lebih dari itu. Cita-cita reforma agraria perlu dialamatkan pada dukungan untuk memperkuat akses lahan bagi mereka yang lemah akses, terutama saat seluruh aspek pertanian –input produksi, sewa lahan dll– dikomersilkan. Pesan penutupnya yang tegas adalah, stop perusahaan besar. Berikan kepercayaan kepada petani kecil karena kalkulasi resiko produksi juga jauh lebih kecil dibanding skala besar. Petani, dibandingkan perusahaan, jauh lebih fleksibel dan bisa menutup kekurangan melalui keragaman tanam dan keragaman mata pencaharian.


Bagi saya, kuliah umum Tania Li ini sangat penting untuk membantu memetakan beragam kerumitan dari pengalaman lapangan. Terkadang saat berada di lapangan, kita kesulitan membaca situasi kampung secara gamblang, “apa yang sedang terjadi? Kekuatan apa yang mendorong orang untuk berubah, saling tikam dan saling sikut?” Buku ini memang bukan satu-satunya resep mujarab, tentu harus dibarengi dengan referensi baca lainnya. Tapi setidaknya, paparan runut dan distingtif tentang bentuk kekuasaan eksklusi dan proses-prosesnya mampu memudahkan saya untuk memetakan situasi. Buku ini juga memudahkan saya dalam triangulasi data dari segala keriuhan, kerumitan dan ketumpangtindihan hubungan manusia dan lahan maupun hubungan manusia dengan manusia. Walau tidak bisa dipungkiri, pemetaan yang dilakukan Li, Hirsch dan Hall maupun kepada mereka yang dimudahkan cara bacanya oleh ketiga sarjanawan agraria bisa membuka lembar perdebatan baru. Selamat belajar!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan

Frontier dan Hikayat Katingan

Pengertian kawasan frontier, dalam nalar “pusat dan periferi”, “tradisional dan modern” serta “rural dan urban”, sepertinya perlu kita baca kembali mengingat perubahan yang berlangsung carut-marut hari ini. Sebagai contoh, di Yogyakarta, pendirian apartemen dan hotel bak jamur di musim hujan, tidak pernah peduli peruntukan tata ruangnya entah pemukiman, persawahan, atau tangkapan air. Dampaknya? Mungkin kita tidak asing melihat seorang bapak tua terengah menuntun sepedanya yang dipenuhi rumput pakan kambing, sementara sebuah mobil Alphard melewatinya penuh angkuh. Mungkin, kita juga tidak asing dengan perempuan paruh baya yang membawa tumpukan cucian kotor melewati pagar gelap setinggi lima meter, pemisah antara kampungnya dengan perumahan elit di mana mobil Alphard itu berasal. Pemandangan itu demikian lumrah hingga lama-kelamaan dianggap tidak pernah ada. Kita mengalami ketercerabutan dari sebuah ruang yang selama ini dianggap mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari tapi t