Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2010

Krisis Kritik

Kita mengenal Sekolah Frankfurt yang dilatarbelakangi oleh semangat Renaissance sebagai manisfestasi atas budaya kritik. Para inisiatornya, Hockheimer maupun Adorno bertolak dari gagasan Marxisme yang kian lama semakin tak sehat. Mereka hidup pada sebuah masa di mana komunisme dan fasisme merebak, di mana negara –toh pada akhirnya- menguasai rakyat sepenuh-penuhnya. Lagi-lagi kultur kritik memiliki kekuatannya untuk membaca jaman itu. Ini Tidak Benar! Demikian refleksi yang dipertentangkan. Bagi kritik, sebuah ideologi –dan atau teori- tak dapat direduksi menjadi sekedar nilai-nilai pakem (dogma) yang semakin parah jika dikawinkan dengan kekuasaan. Retorika itu bisa berbahaya, akhirnya peran ideologi sebagai pisau analisis fenomena sosial-kultural-politik-ekonomi justru mengalami dekadensi. Sebuah teori memang tak boleh menjadi norma yang mutlak, karena norma sebuah teori ada pada kritiknya.              Nah, bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah melakukan kritik atau sekedar laru

Politik (Berparas) Perempuan

        Demikianlah judul yang dipilih Joni Levenduski, seorang Profesor Bidang Politik dari Brikbeck Colloge London, dari bukunya yang berisi mengenai dinamika politik perempuan khususnya di seputar Eropa. Walau konteks buku tersebut adalah Eropa, sementara kita ada di Indonesia, agaknya rumusan masalah yang diuraikan memang masih relevan. Terutama saat membaca isu affirmative action alias kuota 30 % perempuan dalam kancah politik praktis di Indonesia.             Pada tahun 2000, pasca runtuhnya rejim Orde Baru, presiden yang kala itu dijabat oleh Gusdur mencoba mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan, perencanaan dan anggaran pemerintah (UNDP Indonesia, 2010: 16). Salah satu hasil dari upaya pengarusutamaan gender tersebut adalah UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum mengenai kuota 30% perempuan untuk diusulkan dalam daftar calon legislatif. Pada Pemilu sebelumnya, tahun 2004, regulasi serupa juga pernah lahir melalui UU No. 12/2003 sebagai respon atas ketimpangan g

8 Maret dalam Roti dan Bunga

Tanggal 8 Maret 2010. Tak ada momen yang ulang tahun, seingat Ratri. Namun, kenapa pada hari itu ia menandai bulatan merah dan tanda kepal tangan di sana? Ia memang tak ingat bahwa pada hari yang sama di tahun lalu, Ratri menerima seuntai bunga dari pengamen di pinggir jalan. ”Selamat Hari Perempuan Interanasional, kak,” tegur pengamen itu usai menyerahkan mawar merah sederhana dari kertas. Ratri hanya tersenyum. Tak secuil pun ia menanggapi ”Hari Perempuan Interansional”, sebagai sebuah hal asing, yang diucapkan oleh perempuan pengamen itu. Sesekali Ratri justru iba. Pada saat yang bersamaan di moment 8 Maret tahun lalu. Ratri menerima selebaran usang yang tertempel di pinggir-pinggir jalan bertuliskan, ”Ayo perempuan, keluar rumah dan rebut hakmu.” Kembali Ratri terpinkal. Ia tertawa dan berujar, ”Ada apa ini? Kenapa semua orang begitu antusias,” pekiknya.  Pelan-pelan ia membuka lembaran kertas berwarna merah itu. Kulitnya yang kusam, bagi Ratri, hanya menandakan ketidakpedulian mas