Langsung ke konten utama

8 Maret dalam Roti dan Bunga

Tanggal 8 Maret 2010. Tak ada momen yang ulang tahun, seingat Ratri. Namun, kenapa pada hari itu ia menandai bulatan merah dan tanda kepal tangan di sana?

Ia memang tak ingat bahwa pada hari yang sama di tahun lalu, Ratri menerima seuntai bunga dari pengamen di pinggir jalan. ”Selamat Hari Perempuan Interanasional, kak,” tegur pengamen itu usai menyerahkan mawar merah sederhana dari kertas. Ratri hanya tersenyum. Tak secuil pun ia menanggapi ”Hari Perempuan Interansional”, sebagai sebuah hal asing, yang diucapkan oleh perempuan pengamen itu. Sesekali Ratri justru iba.

Pada saat yang bersamaan di moment 8 Maret tahun lalu. Ratri menerima selebaran usang yang tertempel di pinggir-pinggir jalan bertuliskan, ”Ayo perempuan, keluar rumah dan rebut hakmu.” Kembali Ratri terpinkal. Ia tertawa dan berujar, ”Ada apa ini? Kenapa semua orang begitu antusias,” pekiknya. 
Pelan-pelan ia membuka lembaran kertas berwarna merah itu. Kulitnya yang kusam, bagi Ratri, hanya menandakan ketidakpedulian masyarakat. Namun ia begitu tertarik karena kertas ini menuliskan ”Perempuan” dan jamak berserakan di jalan. 

Pada awal paragraf diucapkan bahwa, perempuan harus keluar rumah dan merebut haknya. Adanya sistem patriarki dan kapitalisme telah mendomestikasikan perempuan hingga pada tingkatan sistemik. Akibatnya perempuan tak berani mengambil keputusan terhadap dirinya. Kehidupan dan tubuhnya murni milik sosial karena rantai tegas patriarki yang kian diperkeruh oleh sistem pasar. Ia terpasung dalam angan-angan mengenai kebahagiaan di tangan suami atau ayah. Sementara eksistensinya sendiri nisbi. Kian lama makhluk ber-farji itu tak berbuat apa-apa sehingga melumpuhkan peran perempuan dalam masyarakat. Inilah yang disebut sebagai minimnya perempuan sebagai tenaga produktif. 

Ratri termenung, ia tak lagi membaca tulisan di kertas merah kucel itu. Ia paham ke mana arah dari tulisan ’anonim’ ini akan terperikan. Tanpa sadar ia melingkari tanggalan merah di tahun berikutnya dan berujar, ”Selamat Hari Perempuan Interanasional.” 

Itulah Ratri tahun lalu. Ia paham bahwa semenjak itu tak banyak angan yang ia bagikan ke orang lain. Namun ini adalah tanggal 8 Maret. Saat bersejarah yang seharusnya membuat Ratri tak berdiam diri di kamar. 

Tanggalan bergambar itu kembali Ratri lihat seksama. ”Aku harus tahu apa itu Hari Perempuan Internasional.”

Tertanggal 8 Maret merupakan hari perempuan interanasional. Ia diilhami oleh kisah-kisah permepuan yang menoreh catatan sejarah. Selama berabad-abad perempuan berjuang memenuhi keterpengaruhannya dalam masyarakat. Misalnya pada masyarakat Yunani Kuno, Lysistrata menggalang gerakan perempuan mogok berhubungan seksual dengan pasangannya untuk menuntut dihentikannya perang. Kondisi serupa juga mengiringi perjalanan panjang gerakan perempuan. 
Ratri diam, ia paham bahwa sejarah kelahiran gerakan perempuan tak lepas dari perkembangan intelektual manusia hubungannya dengan kebebasan berpikir. Maka lahirlah abad pencerahan sebagai tonggaknya. Kala itu hegemoni gereja lah yang menjadi sasaran perjuangan perempuan dan gerakan intelektual lainnya. Pada masa ini pula lah tercatat kelompok ilmiah pertama perempuan di Belanda, tahun 1785, yang digawangi oleh Lady Mary Wotrley dan Marquis de Condoret. 

Saat itu kondisi perempuan masih terpasung dalam rantai patriarki. Baik penafsiran gereja maupun lingkup sosial kultural lah yang menjebak perempuan pada lingkungan domestik. Kala itu perempuan tidak memiliki hak publik, ia dianggap sebagai alat kelamin kedua. Ya marjinalisasi terhadap perempuan ini diperparah oleh hegemoni gereja dan agama-agama lain mengenai posisi perempuan, bahwa istri harus tunduk terhadap suami. 

Maka, perjuangan terhadap perempuan pun tak luput diimbangi dengan perjuangan terhadap perbudakan, kelas dan ras. Dan pada abad pencerahan inilah pikiran manusia dibebaskan dan mengalami ideologisasi yang signifikan. Hal ini terbukti dari masifnya gerakan-gerakan yang mendasari perjuangan pasca zaman pencerahan.

Kebangkitan perjuangan perempuan pertama memang berawal dari masyarakat Eropa dan Amerika di mana perempuannya telah terintegrasi ke dalam sistem pasar. Saat itu kebutuhan tenaga kerja karena tuntutan produksi mengakibatkan perempuan pun memasuki sektor industri. 

Namun model ekonomi seperti ini pun tak luput dari eksploitasi dan marjinalisasi. Kenapa? Karena adanya kepemilikan pribadi dalam kapitalisme tak mengubah keadaan yang mulanya feodalistik. Bahkan kepemilikan modal pun tak beralih banyak, hanya melingkupi masing-masing yang sudah berkuasa sebelumnya. 

Ratri pun mulai memahami bahwa hari perempuan internasional diawali dengan pergolakan dari sistem yang tidak adil ini. Mulanya zaman pencerahan menjadi sebentuk jawaban dari unit-unit masyarakat elit yang merasai kejanggalan hegemoni gereja. Fase ini membuka mata masyarakat mengenai rasionalisasi dan keresahan. ”Selamat tinggal mistifikasi agama,” pikir Ratri membayangkan makna zaman pencerahan. Usai itu lahirlah kesadaran mengenai perbudakan. Eksploitasi budak selalu saja berhubungan dengan urusan kelas dan ras. Saat itu kult-kulit berwarna diperbudak, penjajahan pun dilakukan guna ekspansi barang. Barang ini diperolehnya dari over produksi akibat masa revolusi industri. Bagi Ratri, situasi-situasi ini tentu tak bisa berlansung parsial. Masing-masing memiliki keterkaitan hingga akhirnya melahirkan tesis bahwa “gerakan perempuan selalu disetai dengan gerakan perbudakan dan kelas.” 

Akibat situasi inilah, maka hadir gelombang pergerakan perempuan yang biasa dikenal sebagai gerakan perempuan pertama. Salah satu capaian yang terjadi di gelombang pertama ini adalah semangat buruh yang turut teradikalisasi. Di awali di Amerika, pada tanggal 8 Maret 1957 para buruh tekstil di New Yook mengadakan akse protes. Mereka menuntut hak-hak kerja dan kenaikan upah. Hingga pada tanggal yang sama di tahun yang berbeda, 8 Maret 1908, sebanyak lima belas ribu perempuan turun ke jalan dan menuntut jam kerja, menuntut hak pilih dalam pemilu dan menghentikan pekerja di bawah umur. Mereka menyerukan slogan “Roti dan Bunga”. Roti sebagai simbol jaminan hidup dan bunga sebagai kesejahteraan hidup.

Ratri pun bergumam dan mulai menemukan benang merah antara bunga, hari perempuan internasional hingga bagaimana sejarah ini dibentuk. Ternyata tuntutan 8 jam kerja, 8 jam sosial dan 8 jam istirahat diawali dari tuntutan lima belas ribu perempuan turun ke jalan. ”Bagaimana kondisi ini bisa terjadi?” pikir Ratri. Namun sejarah memang tak bisa dibayangkan menggunakan kaca mata sekarang. Kala itu perempuan memang tengah merasakan marjinalisasi dan eksploitasi besar-besaran. Dan kesadaran yang tumbuh pun tak akan mungkin bisa dilakukan tanpa adanya pengorganisasian diri. 
Mulanya, hari perempuan sendiri belum menjadi kesepakatan bersama secara internasional. Misalnya Partai Sosialialis Amerika, yang mencanangkan hari Minggu terakhir di bulan Februari untuk memperingati Hari Perempuan Nasional.

Menyusul deklarasi Partai Sosialis Amerika tersebut, Hari Perempuan Nasional untuk pertama kalinya diperingati di Amerika Serikat pada tanggal 28 Februari 1909. Selanjutnya pada tahun 1913, para perempuan merayakannya pada hari Minggu terakhir bulan tersebut. 

Puncaknya pada tahun 1910, di Kopenhagen Denmark, kala terselenggara Konferensi Sosialis Internasional ditetapkanlah tanggal 8 Maret sebagai hari perempuan internasional. Dan Clara Zetkin, tokoh perempuan Jerman, yang pertama kali melontarkan gagasan tersebut. 8 Maret pun bisa menjadi ajang mengingatkan mobilisasi massa buruh tekstil di New York, tahun 1857. Sejak saat itu 8 Maret menjadi hari perempuan internasional. 

Ratri pun berangan-angan, jika memang hari perempuan diawali dengan mobilisasi massa, kenapa kini gerakan perempuan tak mampu menampakkan taringnya menggunakan metode itu. Kini gerak perjuangan perempuan seolah gemulai dengan dimantabkannya aktor-aktor legislatif perempuan. Perjuangan pun dianggap masif jika sudah lihai berolah regulasi. 

Namun tidak demikian? Semangat gerakan perempuan tetaplah semangat mobilisasi. Dan advokasi menjadi bahan pertama terwujudnya mobilisasi massa. Seyogyanyalah jika semangat 8 Maret kembali dimaknai sebagai Roti dan Bunga. Sebuah simbol mencari kesejateraan mereka yang termajinalkan. Roti sebagai makanan pokok, simbol massa dan keterpenuhan ekonomi. Serta bunga sebagai simbol kesejahteraan, faktanya tak hanya diperoleh dari jalur regulasi semata, pikir Ratri seraya mengepalkan tangan kirinya. [Ciptaningrat Larastiti ] 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara

Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li STPN 14 Desember 2016 Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara. Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perd

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan

Authoritarian and paternalism in Indonesian peasant cooperative: A former plantation workers’ cooperative from the 1950s to the neoliberal era

Abstraction This paper examines the dilemmas of a former plantation workers’ cooperative attempting to develop an egalitarian and self-managed agrarian community in the face of persistent military influence in Indonesian’s rural areas. These dilemmas are related to the question of how the ex-worker community shapes and is shaped by exclusionary politics as their cooperative shifts from a peasant political movement into an instrument of capitalistic relations of production. The paper focuses on an ex-plantation workers’ cooperative in West Java (Indonesia) which has been struggling since the rise of the socialist movement in the 1950s. At that time, the plantation workers occupied the former colonial rubber plantation and initiated land reform for the subsistence plots of landless households. The rest of the undistributed land was maintained as an independent cooperative owned and managed by the members under the guidance of the Indonesia Peasant Movement (GTI), a movement inspi