Langsung ke konten utama

Politik (Berparas) Perempuan

       

Demikianlah judul yang dipilih Joni Levenduski, seorang Profesor Bidang Politik dari Brikbeck Colloge London, dari bukunya yang berisi mengenai dinamika politik perempuan khususnya di seputar Eropa. Walau konteks buku tersebut adalah Eropa, sementara kita ada di Indonesia, agaknya rumusan masalah yang diuraikan memang masih relevan. Terutama saat membaca isu affirmative action alias kuota 30 % perempuan dalam kancah politik praktis di Indonesia.
            Pada tahun 2000, pasca runtuhnya rejim Orde Baru, presiden yang kala itu dijabat oleh Gusdur mencoba mengintegrasikan perspektif gender dalam kebijakan, perencanaan dan anggaran pemerintah (UNDP Indonesia, 2010: 16). Salah satu hasil dari upaya pengarusutamaan gender tersebut adalah UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum mengenai kuota 30% perempuan untuk diusulkan dalam daftar calon legislatif. Pada Pemilu sebelumnya, tahun 2004, regulasi serupa juga pernah lahir melalui UU No. 12/2003 sebagai respon atas ketimpangan gender dalam ranah politik praktis. Akan tetapi aturan pada tahun 2003 tersebut memang tidak mewajibkan partai politik membuka kesempatan 30% bagi perempuan. Maka angka statisktik mengenai situasi tersebut menunjukkan bahwa tingkat partisipasi perempuan relatif masih rendah. Berdasarkan data laporan United Nation Development Program (UNDP) Indonesia tahun 2010 yang diunduh melalui jejaring internet menyebutkan, keterwakilan perempuan pada Pemilu 2004 senilai 10,18 %,  memang rendah dan cenderung stagnan dibandingkan dengan Pemilu 1999 senilai 11,4 %..
            Atas landasan itulah pemerintah mulai menerapkan aturan baru melalui UU No. 10/2008 guna mematok alias mewajibkan para partai politik untuk membuka ruang politiknya bagi perempuan. Bukan berarti regulasi seperti itu bisa menjadi jawaban atas segala ketimpangan gender yang terjadi. Pengarusutamaan gender memang tak selesai pada kuota 30% semata. Lebih dari sekedar angka, semangat tersebut lahir dari ikhtiar manusia untuk mengubah paradigma mengenai relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan.
            Bahkan melalui kerangka berpikir yang lain, kuota 30% pun bisa dimaknai sebagai bentuk diskriminasi atas perempuan itu sendiri atau sekedar latah dalam menanggapi tuntutan jaman. Lebih ironis lagi, Levenduski (2005) beranggapan bahwa situasi tersebut justru bentuk kepura-puraan politis. Di satu sisi memberikan kesempatan besar bagi perempuan untuk berpolitik praktis, di sisi lain gerak mereka masih dibatasi dalam ruang-ruang yang patriarki. Berdasarkan latar belakang itulah semangat dari tulisan ini lahir. Pertanyaannya adalah, akankah kebijakan kuota 30% perempuan menjadi solusi riil atas ikhtiar manusia dalam mencapai keadilan gender?
            Tulisan ini terkonsep berdasarkan pengalaman penulis saat mengobrol dengan banyak orang mengenai gejolak affirmative action. Berbagai perspektif telah digunakan, ”Ada yang bilang bahwa itu latah, ada pula yang bilang bahwa itu diskriminasi, ada juga yang bilang bahwa perempuan Indonesia belum siap untuk berpolitik, atau ada yang bilang bahwa proses advokasi harus mencapai 50% kuota.” Poinnya, masing-masing membawa pemaknaan mengenai kuota 30% perempuan dalam merebut kursi legislatif.
            Walaupun isu mengenai si tiga puluh persen pada Pemilu Legislatif 2009 sudah mulai surut, agaknya gejolak tersebut kembali muncul ketika Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) baru-baru ini. Dengan bentuk berbeda namun berwajah sama, politik perempuan mulai ditampilkan kembali ke dalam arena politik yang riil. Sebut saja fenomena incumbent para istri dari mantan bupati hingga fenomena wakil bupati berasal dari artis perempuan ”seksi”.
            Penulis merasa bahwa titik tolaknya adalah sama. Kini, situasi politik perempuan memang tengah disetir oleh segenggam nilai lama yakni patriarki bertopeng demokrasi. Represi terhadap perempuan memang tidak sefrontal dulu, seperti peletakkan peran perempuan dalam sektor non-politis melalui Panca Tugas Wanita[1] di masa Orba. Kini represi terhadap perempuan menemukan iramanya yang lebih elegan dengan membungkus peraturan bahwa seolah-olah perempuan memiliki hak sama dengan laki-laki. Walaupun mereka diberi kesempatan yang relatif sama dengan laki-laki namun masih dimandulkan dalam sektor strategis seperti pengambilan kebijakan. Pada kasus-kasus tertentu, para perempuan hanya dijadikan alat untuk meneruskan kekuasaan (kasus incumbent seperti di Pilkada Kediri dan Bantul), peraih suara (kasus caleg perempuan dari kalangan artis dan wakil bupati dari kalangan artis perempuan ”seksi”). Lalu bagaimana pembacaan mengenai situasi politik (berparas) perempuan tersebut?
            Tulisan ini pada dasarnya dibatasi pada pembacaan mengenai isu keterwakilan perempuan dalam Pemilu 2009. Dan mungkin menyinggung pula mengenai capaian perwakilan perempuan dari pengambilan kebijakan yang berperspektif gender. Akankah visi misi tersebut tepenuhi?
            Gender dan  Politik Indonesia
            Pada dasarnya konsekuensi dari relasi antara laki-laki dan perempuan adalah pembagian peran diantara keduanya, yang dikenal sebagai gender. Lalu bagaimana relasi tersebut berdialektika? Jika menilik pada gender sebagai peran, ia dapat dimaknai sebagai sifat dan perilaku yang dilekatkan pada laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial. Beranjak dari yang sudah-sudah yakni peran manusia, hubungannya dengan studi gender, terdikotomi menjadi sektor publik dan domestik maupun sektor produktif dan reproduktif.
            Laki-laki seolah mutlak berperan di ruang produktif sehingga cenderung aktif dalam ranah publik. Sedangkan perempuan, dianggap bekerja di ruang-ruang reproduktif sehingga ranah yang dimiliki berputar pada kerja domestik saja. Kondisi ini tentunya memojokkan eksistensi perempuan. Maka saat berbicara mengenai politik, kondisi yang timpang itu pun menjadi permasalahan. Bila Robert Chamber (1987) menganggap pada konsep ketimpangan dan ketidakadilan merupakan akibat dari bias peneliti, bias pendidikan formal, bias kelas dalam pembangunan. Namun Mansour Fakih (1997) dalam kesempatan yang sama menyebutkan bahwa bias paling berbahaya yakni bias gender. Lebih dari separuh umat di dunia dikorbankan atas kecenderungan tersebut.
            Dan salah satu sektor yang mutlak mengalami bias gender adalah politik dan atau politik praktis. Situasi ini tentunya tdak parsial dengan kondisi politik di Indonesia. Pada masa rejim Soeharto peran perempuan didefinisikan melalui Panca Tugas Wanita. Padahal dalam aturan tersebut tidak ada yang menyebutkan bahwa perempuan bisa berpolitik. Aturan tersebut hanya merekayasa bahwa tugas pokok seorang perempuan yang baik adalah sebagai istri bagi suami dan ibu bagi anak-anaknya. Ruang aktualisasi diri dan advokasi perempuan ditutup sedemikian rupa hingga lahirkan konsep ’ibuisme’ pada masa tersebut.
            Penulis juga beranggapan bahwa pengkredilan akses politik bagi perempuan dimulai ketika Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dibunuh karakternya paska Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu). Mereka pun dicap sebagai pelacur yang membunuh para jendral diantara tarian bunga di sekitar lubang buaya. Hingga pada 1966 secara resmi Gerwani dilarang, bahkan menyebut istilah organisasi massa perempuan tersebut dianggap tabu lalu dicap komunis. Padahal gerakan tersebut cukup masif dalam mengadvokasi perempuan di berbagai sektor, salah satunya ketika menghadapi konservatisme tradisi Jawa yang hanya mengganggap perempuan sebagai konco wingking.  Dalam sebuah pertemuan antara penulis dengan salah satu kader Gerwani dari Blitar[2] mengatakan bahwa, ”Saat itu kami bisa mengadvokasi kepentingan perempuan hingga tingkat parlementer. Kami mendapat dukungan dari suara kawan-kawan di sana,” ungkap perempuan yang berumur lebih dari 80 tahun tersebut bangga. Lalu bagaimana dengan sekarang ketika rejim Orde Baru sudah luntur, ruang demokrasi terbuka dan peran perempuan tak hanya dimaknai sebagai ibuisme. Apakah tantangan mereka sudah tidak ada atau justru malah nyata? Karena pada dasarnya dinamika gerakan sosial lain pun mengalami titik balik pasca 1998 ini.
            Hak perempuan untuk memilih sendiri lahir pada era gerakan perempuan gelombang pertama pada rentang waktu 1800 hingga 1920. Nafas kesadaran perempuan untuk melibatkan diri menjadi bagian dari kancah politik memang dimulai saat itu. Akan tetapi gaung dari perang dunia pertama belum menampakkan hasilnya hingga sekarang. Pembacaannya adalah politik perempuan sebagai kepentingan teraktualnya memang baru giat pada Pemilu 2009. Namun misi menuju penyelarasan gender masih jauh panggang dari pada api. Menurut penulis, kondisi politik riil sekarang justru sangat pragmatis karena pengarusutamaan gender hanya dimaknai sebagai jumlah kuota perempuan dan laki-laki. Substansi awalnya pun hilang. Kuota memang penting, namun penyatuan visi misi berkeadilan gender lebih penting lagi. Bukankah tidak butuh laki-laki atau perempuan untuk sadar mengenai keadilan gender.


[1] Peran ini diatur secara resmi dalam Garis Besar Haluan Negara, berisi mengenai tugas ideal yagn wajib dimiliki seorang istri: (1) sebagai istri dan pendamping suami, (2) Sebagai pendidik dan pembina generasi muda, (3) sebagai ibu pengatur rumah tangga, (4) sebagai pekerja yang menambah penghasilan keluarga, (5) sebagai anggota organisasi masyarakat khususnya organisasi perempuan dan sosial (yang pada akhirnya hanya diterjemahkan dalam bentuk Pembin Kesejahteraan Keluarga atau Dharmawanita)

[2] Pertemuan dengan anggota Gerwani tersebut terjadi ketika konferensi Perempuan Mahardhika pada paruh 2010 lalu. Namun saying saya lupa nama perempuan yang mengaku menggiatkan mobilisasi massa petani dan buruh di Blitar, Tulungagun dan Kediri pada masa itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara

Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li STPN 14 Desember 2016 Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara. Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perd

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan

Authoritarian and paternalism in Indonesian peasant cooperative: A former plantation workers’ cooperative from the 1950s to the neoliberal era

Abstraction This paper examines the dilemmas of a former plantation workers’ cooperative attempting to develop an egalitarian and self-managed agrarian community in the face of persistent military influence in Indonesian’s rural areas. These dilemmas are related to the question of how the ex-worker community shapes and is shaped by exclusionary politics as their cooperative shifts from a peasant political movement into an instrument of capitalistic relations of production. The paper focuses on an ex-plantation workers’ cooperative in West Java (Indonesia) which has been struggling since the rise of the socialist movement in the 1950s. At that time, the plantation workers occupied the former colonial rubber plantation and initiated land reform for the subsistence plots of landless households. The rest of the undistributed land was maintained as an independent cooperative owned and managed by the members under the guidance of the Indonesia Peasant Movement (GTI), a movement inspi