Langsung ke konten utama

Krisis Kritik

Kita mengenal Sekolah Frankfurt yang dilatarbelakangi oleh semangat Renaissance sebagai manisfestasi atas budaya kritik. Para inisiatornya, Hockheimer maupun Adorno bertolak dari gagasan Marxisme yang kian lama semakin tak sehat. Mereka hidup pada sebuah masa di mana komunisme dan fasisme merebak, di mana negara –toh pada akhirnya- menguasai rakyat sepenuh-penuhnya. Lagi-lagi kultur kritik memiliki kekuatannya untuk membaca jaman itu. Ini Tidak Benar! Demikian refleksi yang dipertentangkan. Bagi kritik, sebuah ideologi –dan atau teori- tak dapat direduksi menjadi sekedar nilai-nilai pakem (dogma) yang semakin parah jika dikawinkan dengan kekuasaan. Retorika itu bisa berbahaya, akhirnya peran ideologi sebagai pisau analisis fenomena sosial-kultural-politik-ekonomi justru mengalami dekadensi. Sebuah teori memang tak boleh menjadi norma yang mutlak, karena norma sebuah teori ada pada kritiknya.
             Nah, bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah melakukan kritik atau sekedar larut dalam problema multidimensional ini?
            Kritik merupakan bagian dari penyadaran, ia hadir dari ruang-ruang merdeka. Kalaupun tidak, ia bisa pula lahir dalam kondisi penuh represi. Kritik bisa hadir pada situasi apapun dan setiap orang bisa melakukan itu. Namun ironinya keinginan untuk mengkritik –sekedar menanyakan atau meragukan- melemah di masyarakat. Di sebuah era yang ”bebas” ini manusia sebagai individu merdeka justru terjebak pada pragmatisme. Bahkan sekelompok orang –oleh Gramsci- disebut sebagai intelektual organik malah lalai dengan peran profetiknya. Mereka lupa pada keberpihakan atas pengetahuan dan kemampuan yang telah diperolehnya. Jika dulu gagasan top-down yang berciri eksploitatif dilakukan oleh aktor negara. Kini gagasan top-down yang juga berciri ekploitatif justru dilakukan lebih liar oleh KITA –sekelompok orang yang mengklaim dirinya memiliki pofesi.
            Kini saya paham bahwa musuh utama dari Kritik adalah Pragmatisme sikap dan berpikir. Kampus-kampus telah menjadi menjadi mesin pencetak tenaga kerja. Elit politik saling sangkal, tuduh dan sembunyi kasus korupsi. Lembaga legislatif asyik lawatan ke luar negeri dan bukin gedung 36 lantai. Mahasiswa kegirangan melengang di mall dari pada ikut diskusi. Lalu, LSM-LSM terlilit kepentingan ndoro funding. Para akademisi berubah menjadi broker proyek. Dokter sengaja salah mendiagnosis penyakit orang kere. Sekolah-sekolah tambah mahal. Para birokrat tak mau ketinggalan dengan menjadikan dirinya raja-raja kecil. Eh presiden kita malah asyik membuat album baru. Sementara tukang becak tetaplah tukang becak dengan penghasilan tak lebih dari dua belas ribu rupiah per hari. Petani gurem tetaplah petani gurem karena tanah pun tak punya. Pengemis ya tetap ngemis. Sing kere tetep kere.
Ya, kita telah mengalami krisis kritik. Setiap orang ingin tetap duduk di kursi empuknya dan tidak mau melakukan kritik. Ternyata uang telah menjadi ideologi, teori-teori kehilangan taringnya karena tak bisa mengkritik. Lalu siapa sih yang mau dikritik jika presiden saja takut dikritik? [ ]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara

Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li STPN 14 Desember 2016 Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara. Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perd

Authoritarian and paternalism in Indonesian peasant cooperative: A former plantation workers’ cooperative from the 1950s to the neoliberal era

Abstraction This paper examines the dilemmas of a former plantation workers’ cooperative attempting to develop an egalitarian and self-managed agrarian community in the face of persistent military influence in Indonesian’s rural areas. These dilemmas are related to the question of how the ex-worker community shapes and is shaped by exclusionary politics as their cooperative shifts from a peasant political movement into an instrument of capitalistic relations of production. The paper focuses on an ex-plantation workers’ cooperative in West Java (Indonesia) which has been struggling since the rise of the socialist movement in the 1950s. At that time, the plantation workers occupied the former colonial rubber plantation and initiated land reform for the subsistence plots of landless households. The rest of the undistributed land was maintained as an independent cooperative owned and managed by the members under the guidance of the Indonesia Peasant Movement (GTI), a movement inspi

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan