Langsung ke konten utama

Jari-jari Lentik Buruh Rokok



November 2010 saya pergi ke salah satu kota di Jawa Timur untuk melakukan riset mengenai petani dan buruh tembakau. Tentu saja saat berbicara buruh tembakau yang terbayang pastilah sekelompok remaja putri lulusan SMP dan SMK atau ibu muda, syukur-syukur para ibu berusia 40 tahun yang masih dipercaya oleh pabrik untuk bekerja. Merekalah perempuan-perempuan terpilih yang dianggap memiliki kemampuan khusus untuk memproduksi rokok secara cermat, teliti, rajin dan cepat.

Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar industri rokok atau mitra produksi rokok, menjadi buruh rokok mungkin sebuah pilihan hidup atau bahkan keberuntungan. Dengan berdirinya pabrik-pabrik rokok maka angkatan kerja perempuan akan terserap dalam jumlah banyak. Lambat laun, industrialisasi membuat nilai perempuan di mata masyarakat juga meningkat. Mereka tak hanya seorang perempuan dengan kewajiban manak, masak lan macak. Kini mereka menjadi ‘terbebaskan’ dengan kemandirian ekonomi dari upah menjadi buruh linting pabrik rokok. Namun dibalik kejayaan industri yang dianggap mampu meningkatkan posisi tawar perempuan ini ternyata ada banyak sekali cerita minor yang justru berasal dari mereka.

Kemajuan ekonomi memang tak sesederhana yang dibayangkan. Demikian pula dengan kondisi para buruh perempuan di pabrik rokok. Persoalan mereka tak hanya urusan tekanan hidup yang ‘mengendor’ karena terbantu penghasilan seorang buruh. Kerja para buruh linting rokok ini pada dasarnya tetap merupakan stigma ‘keperempuanan’ yang minim penghargaan dalam arena produktif manusia. Hal ini bisa ditunjukkan dari citra ‘pekerjaan yang pas’ bagi para buruh perempuan yang sebenarnya sangat jauh dari urusan strategis. Belum lagi kerentanan mereka sebagai seorang buruh dan juga seorang perempuan. Sebagai buruh, perlindungan kerja mereka sangat minim. Jaminan kesehatan yang diberikan oleh pabrik tak ubahnya asuransi di mana mereka harus membayar premi. Sementara sebagai seorang perempuan mereka harus menanggung beban upah yang tak sesuai dengan kerja mereka. Di sisi lain mereka juga menanggung beban ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus buruh.

***

Inilah konsep jari lentik, nimble-fingers, yang sekiranya mampu merangkum perkara perempuan dalam jerat kapitalisme modern. Konsep ini bukanlah sebuah kesepakatan hukum mengenai buruh perempuan. Bukan, karena disadari atau tidak dunia maskulinitas manusia selalu beranggapan bahwa pekerja perempuan merupakan sosok yang terampil dan penurut (Marry Beth Mills, 2005). Keterampilan tangan mereka seolah menjadi alasan untuk memaklumi kerja domestik yang dibebankan pada perempuan. Sekalipun mereka melenggang ke ranah publik, seperti menjadi buruh linting rokok, posisi mereka tetaplah perpanjangan urusan domestik.

Konsepsi jari lentik inilah yang didengungkan industri kapitalisme untuk mengukuhkan ketersediaan buruh murah dan cermat dari perempuan. Argumentasi tersebut memang tampak dalam dinamika masyarakat Desa K Kecamatan P di Jombang. Pada mulanya desa kecil di pinggir Kota Jombang ini merupakan perkampungan dengan basis ekonomi di sektor pertanian. Akan tetapi geliat industri rokok mulai tampak di desa tersebut. Entah sejak kapan bangunan pabrik mitra produksi rokok berdiri di desa K. Keberadaan pabrik ini seolah menjadi titik terang bagi petani gurem. Para petani tak bertanah ini pun mendapat kesempatan untuk beralih profesi menjadi buruh pabrik yang dianggap untung karena penghasilan mereka menjadi lebih pasti (Masri Singarimbun (ed.), 1995). Jika para lelaki masih memilih menjadi petani, namun bagi perempuan pekerjaan buruh linting merupakan keharusan. Hal ini untuk menambah penghasilan keluarga yang terkadang masih serabutan.

Kisah senada juga dituturkan oleh Suciati (26) dan Iswati (30). Keduanya merupakan istri muda yang bekerja sebagai buruh linting rokok di salah satu mitra produksi sigaret di Desa K. Kedua perempuan tersebut merasa bahwa adanya gaji tetap dari pabrik bisa menambah kebutuhan sehari-hari. Kesimpangsiuran hidup memaksa mereka tetap berada di lingkar industri kapitalis itu.

Seperti kisah Suciati yang menjadi tumpuan keluarga kecilnya. Sang suami hanya bekerja sebagai buruh serabutan yang tak memiliki penghasilan pasti setiap hari. Tiap pagi pukul 06.00 ia sudah diantar suaminnya dengan motor pinjaman ke pabrik. Pukul 06.30 ia harus apel di depan mandor sekaligus memulai kerja. Ia becerita bahwa jumlah lintingan yang dihasilkannya setiap hari sangat memengaruhi upah yang diperolehnya tiap minggu. Target lintingan bisa lebih dari 2000 batang rokok per hari, sementara satu batang dihargai tak lebih dari 200 rupiah. Total penghasilan yang bisa dikantonginya tiap bulan 500.000 rupiah. Itu pun belum dipotong dengan utang di koperasi dan tunjangan kesehatan senilai  18.000 rupiah perbulan di Jamsostek. Padahal saat beranjak pulang pada pukul 16.00 pekerjaan rumah tangga sudah menunggunya di rumah, menyapu, mencuci dan memasak. Kegiatan sosial di kampung seperti pengajian dan arisan justru menjadi hal mewah karena tak satupun waktu senggang bisa digunakannya untuk itu. Suciati mengaku bahwa waktunya hanya dihabiskan untuk bekerja di pabrik dan di rumah. Ia baru bisa beristirahat ketika suaminya sudah lelap.

Situasi serupa juga dialami oleh Iswati. Hanya saja ia sudah memiliki anak berusia lima tahun yang harus dijaganya tiap pagi dan usai pulang dari pabrik. Bau rokok dibajunya tak memengaruhi kedekatan Iswati dengan anaknya yang barusia 5 tahun, Susanto. Lebih dari 240 jam, waktu yang digunakannya untuk mengasuh serta mengawasi anaknya. Ketika bekerja pada pukul 06.00 hingga 16.00, ia akan menitipkan Susanto pada ibunya. Sementara suami Iswati yang bekerja sebagai buruh tani juga melakukan pekerjaannya tiap pagi dan sore. Tanah garapan suami Iswati yang diperolehnya dari hasil maro (bagi-hasil) memang tak mampu menyukupi kebutuhan harian mereka. Akibatnya tak jarang pula Iswati mengambil waktu lembur hingga pulang pukul 17.00 dan bekerja di hari sabtu untuk mendapatkan uang tambahan 300.000 rupiah setiap bulan.

Beban kerja yang ditunjukkan kedua perempuan tersebut memang menjadi hal jamak dan lumrah di masyarakat kita. Tak hanya beban kerja sebagai seorang buruh pabrik semata, mereka juga ikut menanggung beban domestik yang dianggap menjadi kewajiban perempuan. Di sini ada konsep pembagian kerja yang ‘seksis (sexism)’ antara lelaki dan perempuan. Ada lingkup tertentu yang ditumpukan pada perempuan sebagai wilayah kerja alamiah dan kodrat. Ketika mereka berhadapan dengan kemiskinan kerentanan para perempuan ini pun meningkat.

Selain itu dalam hubungan produksi, perempuan tak hanya mengalami alienasi atas barang yang dihasilkan. Situasi kerja mereka terlampau sederhana jika disamakan dengan lelaki. Para perempuan ini dalam proses kerjanya menerima stigmatisasi kuat dari satu pihak seperti industri. Anggaplah pihak pabrik menyakini bahwa perempuan adalah buruh yang tidak akan memberontak, bisa digaji rendah dan ulet. Keyakinan tersebut menjadi seksis (sexism) karena toh para buruh perempuan juga menjadi objek dibawah stigma ‘keperempuanan’ kaum patriarki (MacKinnon dalam Sutherland, 1989: 120-121). Jangan-jangan para buruh perempuan bergaji rendah itu memang tidak pernah dianggap sebagai ‘pencipta’ komoditas namun si komoditas itu sendiri (Shutterland, 2005: 120). Maka akumulasi modal yang diciptakan oleh proses produksi memang pada dasarnya bertolak dari male sexual desire (Shutterland, 2005:121). Oleh karenanya para buruh perempuan itu masih menari indah diantara gulungan-gulungan tembakau dengan kebisuan mereka. Jari-jari lentiknya pun masih bergerak dan menjadi saksi dari kegagalan industri untuk meningkatkan harkat perempuan di mata masyarakat.

Untuk para Kartini Indonesia. Merdeka!
Yogyakarta, 21 April 2011

            Mills, Marry B. 2005. Nimble Fingers to Raised Fist: Woman and Labour Activism in Globalizing Thailand dalam Sign Vol. 31 No. 1. Chicago: University of Chicago Press.
            Shutterland, Kate. 2005. Marx and MacKinnon: The promise and Perils of Marxism for Feminist Legal Theory dalam Social and Society.  
            Singarimbun, Masri dan Sairin, Sjafri (ed.). 1995. Lika-liku Kehidupan Buruh Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Yayasan Annisa Swasti Yogyakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara

Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li STPN 14 Desember 2016 Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara. Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perd

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan

Authoritarian and paternalism in Indonesian peasant cooperative: A former plantation workers’ cooperative from the 1950s to the neoliberal era

Abstraction This paper examines the dilemmas of a former plantation workers’ cooperative attempting to develop an egalitarian and self-managed agrarian community in the face of persistent military influence in Indonesian’s rural areas. These dilemmas are related to the question of how the ex-worker community shapes and is shaped by exclusionary politics as their cooperative shifts from a peasant political movement into an instrument of capitalistic relations of production. The paper focuses on an ex-plantation workers’ cooperative in West Java (Indonesia) which has been struggling since the rise of the socialist movement in the 1950s. At that time, the plantation workers occupied the former colonial rubber plantation and initiated land reform for the subsistence plots of landless households. The rest of the undistributed land was maintained as an independent cooperative owned and managed by the members under the guidance of the Indonesia Peasant Movement (GTI), a movement inspi