Langsung ke konten utama

Frontier dan Hikayat Katingan





Pengertian kawasan frontier, dalam nalar “pusat dan periferi”, “tradisional dan modern” serta “rural dan urban”, sepertinya perlu kita baca kembali mengingat perubahan yang berlangsung carut-marut hari ini. Sebagai contoh, di Yogyakarta, pendirian apartemen dan hotel bak jamur di musim hujan, tidak pernah peduli peruntukan tata ruangnya entah pemukiman, persawahan, atau tangkapan air. Dampaknya? Mungkin kita tidak asing melihat seorang bapak tua terengah menuntun sepedanya yang dipenuhi rumput pakan kambing, sementara sebuah mobil Alphard melewatinya penuh angkuh. Mungkin, kita juga tidak asing dengan perempuan paruh baya yang membawa tumpukan cucian kotor melewati pagar gelap setinggi lima meter, pemisah antara kampungnya dengan perumahan elit di mana mobil Alphard itu berasal. Pemandangan itu demikian lumrah hingga lama-kelamaan dianggap tidak pernah ada. Kita mengalami ketercerabutan dari sebuah ruang yang selama ini dianggap mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari tapi ternyata tidak.
Apa itu frontier? Apakah frontier mengacu pada kedekatan kawasan dengan pusat kekuasaan ekonomi dan politik? Lima belas tahun lalu, mungkin kita tidak pernah membayangkan Sorong dan Merauke mampu dihubungkan jalan tol trans Papua, atau rel kereta api bisa dibangun di tengah belantara Kalimantan. Pun demikian Yogyakarta, tidak pernah terbayang jika Perbukitan Menoreh akan dibelah menjadi jalan tol sebagai konsekuensi perencanan kota bandara. Seluruh daerah ini, lima belas tahun lalu, selalu lekat dengan asosiasi daerah frontier, miskin dan endemik malaria. Tapi, apakah kita masih mengamini bahwa frontier hanya bermakna batas jurisdiksi semata yakni kawasan perbatasan?
Pertanyaan ini bisa menjadi awal bagi kita untuk memperluas pengertian frontier. Kata frontier, tentu saja, tidak semata-mata batas administratif dan geografis tetapi juga batas imajinatif dari perluasan ruang produksi kapital bertajuk pembangunan. Perubahan ini berlangsung cepat, hanya hitungan hari dan bulan bukan lagi musim. Bentang lahan berubah, semula rawa gambut atau perbukitan bertanah merah dibuat sama menjadi seperti “Jakarta,” datar, berdebu, penuh polusi dan gersang. Bila semula lahan gambut merupakan sumber pangan untuk memenuhi karbohidrat dan protein –mulai dari padi, ikan sampai babi, sejak beroperasinya perkebunan sawit dan hutan tanaman industri, berubah menjadi kawasan rawan bencana yang berpotensi kebakaran dan kebanjiran.
Sejatinya, tiga profil di atas tidak hanya terjadi di kota besar saja tetapi juga di daerah-daerah yang selama ini dianggap antah-berantah dan kaya sumber daya alam.
Mereka, entah Orang Dayak, Siberut maupun Orang Papua, menjadi kelaparan dan kesulitan air bersih di daerah yang seharusnya menjadi sumber air dan pangan. Orang Dayak misalnya, sebagian dari mereka, dikriminalisasi karena memulai perladangan dengan cara membakar untuk pembukaan lahan sekaligus pemupukan alami. Sementara di seberang kebun mereka, perkebunan sawit membakar ribuan hektar lahan untuk land clearing tanpa penindakan hukum. Orang Dayak ditangkapi polisi hutan karena memburu babi, rusa dan burung untuk makan sehari-hari sementara perkebunan sawit didiamkan meski membunuh orang utan secara brutal. Hubungan antara legal dan illegal, atau kriminal dan polisi, menjadi tak berarti di tanah frontier. Ketimpangan ini pula yang membuat banyak orang di kawasan frontier terlepas ke pasar tenaga kerja murah, penuh resiko, sebagai buruh borongan atau buruh harian. Mereka berkompetisi dengan seluruh orang di penjuru dunia, entah pendatang, investor sampai mafia birokrat, untuk memperebutkan lahan yang semula menjadi tempat nenek moyang hidup. Lahan-lahan itu dikalkulasi sedemikian rupa atas nama teknokrasi pembangunan untuk mencerabut ruang mereka dalam memenuhi hidup dan memperbaharui hidupnya. Dengan demikian, kata frontier dan ketercerabutan menemui relevansinya di sini.
Diskusi dengan tajuk “Frontier” dibuat sebagai ruang bertutur dari pengalaman etnografi tentang Orang Siberut, Orang Dayak Ngaju, Orang Papua dan Orang Jawa. Diskusi ini mencoba untuk menemukan benang merah dari proses pencerabutan ruang hidup di kawasan frontier. Bagaimana polanya? Dan bagaimana prosesnya? Dari sanalah, kita bisa melakukan refleksi tentang identitas frontier yang bukan imajinasi tentang liyan melainkan diri kita sendiri. Sewaktu-waktu atas nama pembangunan, kampung kita pun bisa berubah cepat tanpa kita sadari proses dan polanya. Membicarakan kawasan frontier bukan sekedar membicarakan liyan, melainkan bertutur tentang diri kita sendiri.

Gambaran Singkat Makalah
Saat mendengar Dayak dan Kalimantan Tengah, apa yang terbesit di kepala kita pertama kali? Apakah tanah dengan sumber daya berlimpah? Lahan dengan jumlah tak terbatas? Ataukah sosok Dayak sang pemburu kepala seperti disebut etnografer Norwegia Carl Lumholtz (1920)? Baik Kalimantan maupun Dayak, sejak pemerintahan kolonial hingga hari ini, selalu didudukkan sebagai sumber daya yang belum dimanfaatkan oleh pembangunan dan modernitas. Pada 1970an, Orde Baru menggunakan istilah “masyarakat terasing (Koentjaraningrat, 1993)” untuk mengatur petani berladang-rotasi agar tidak tinggal berpindah-pindah dan memudahkan operasi pengusahaan kayu. Cara Orde Baru ini tak ubahnya pemerintah kolonial yang mereproduksi istilah “Dayak” sebagai kategori etnisitas dan teritorial berbeda dengan Melayu bertradisi kesultanan.[1] Kategori etnisitas memang sengaja dipakai untuk mengatur ruang tempat Dayak dan Melayu hidup. Oleh karenanya, memahami Dayak di Kalimantan tidak lepas dari cerita pembentukan teritori, tentang bagaimana Kalimantan diperebutkan sebagai ruang untuk melanjutkan hidup atau ruang untuk memperluas kapital? Tarik menarik ini lah yang ingin saya tuturkan dalam cerita Orang Katingan –untuk tidak mereproduksi istilah Dayak– [2] di sempadan Sungai Katingan Kalimantan Tengah.
Perumpamaan tarik menarik ini, menyepakati Tsing (2005), ialah frontier. Kalimantan sebagai frontier merupakan ruang yang dianggap tak beraturan dan terlantar sehingga memungkinkan terjadinya perebutan sumber daya oleh siapapun dari waktu ke waktu (Tsing, 2005). Proses tarik menarik ini berlaku hukum rimba, siapa kuat dia lah yang menang. Sementara yang kalah semakin tersingkir ke dalam kualitas hidup kian memburuk, tidak hanya bagi manusia tetapi juga satuan ekologisnya. Tarik menarik ini perlu dilacak dan ditempatkan dalam satu kurun waktu tertentu untuk menandai intensitas pemburukannya. Oleh karena itu, penting untuk memahami tuturan lokal tentang penanda-penanda perubahan di kampung. Setidaknya ada tiga penanda yang ingin diceritakan di sini, pertama ialah hikayat Sungai Katingan yang menjadi jalur perdagangan komoditas kolonial. Kedua ialah masa kemakmuran kerja kayu dan pengusahaan hutan Orde Baru. Ketiga ialah kebangkrutan pasca penertiban kerja kayu dan mengaburkan penguasaan legal dan illegal atas kawasan hutan Katingan. Dengan membaca konteks sejarah dari tuturan lokal, kita bisa memahami bagaimana hubungan antara Orang Katingan dengan tenurialnya? Sekaligus bisa melacak, pada periode manakah Orang Katingan tercerabut dari ruang hidupnya?

Note: Bila tertarik dengan naskah ini, silahkan menghubungi penulis melalui email ciptahningrat@gmail.com. Naskah pernah diterbitkan terbatas sebagai makalah diskusi di Forum Diskusi Reflektif Samadhya Institute bertajuk "
Frontier: Ekspansi Kapital dan Pengalaman Ketercerabutan" pada 29 Mei 2017 di LKiS Yogyakarta.




[1]  Wadley (2003) Orang Melayu dikenal sebagai nelayan sekaligus pengumpul hasil hotan seperti rotan, madu dan wax serta sesekali berladang. Belanda mengakui ekonomi nelayan sebagai ekonomi Melayu, sementara hutan di sekitar danau dan sungai tempat berlayar menjadi sumber daya yang terbuka bagi siapapun. Sebaliknya, Dayak Iban dikenal Melayu dan Belanda sebagai pemburu kepala. Mereka memiliki sistem agroforestri yang kompleks dengan berbasis pada perladangan rotasi (swidden agriculture), sekaligus pengelolaan dan preservasi hutan tua (tembawang). Mereka menjadi pengumpul hasil hutan, berburu dan nelayan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan menjualnya. Dayak Iban menganggap teritori mereka berada di area hutan, sementara kawasan nelayan sebagai sumber daya alam yang terbuka bagi siapapun. Hal ini berbanding terbalik dengan Melayu.
[2] Scharer (1963) menjelaskan bahwa istilah Dayak berasal dari bahasa Melayu yang artinya "native-orang asli" dan digunakan untuk membedakan populasi beragama pagan dengan imigran Muslim Melayu yang tinggal di sepanjang kawasan pantai selatan Kalimantan. Di Kalimantan Tengah, populasinya dikenal sebagai Dayak Ngaju. Istilah Ngaju berasal dari kata Biaju yang artinya orang dari hulu sungai dan penggunaan keduanya Dayak-Ngaju kian meluas seiring kategorisasi kolonial dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie (edisi kedua)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara

Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li STPN 14 Desember 2016 Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara. Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perd

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan