Langsung ke konten utama

Ben Urip Tetep Semeleh: Dinamika Pemuda Kelompok Banyumili

Abstraksi

Artikel ini berupaya untuk mengulas keseharian hidup pemuda kelompok Banyumili yang
berada di dusun Gadingsari, desa Mangunsari Kecamatan Sawangan Kabupaten Magelang.
Secara turun menurun, sebagian besar masyarakat dusun Gadingsari menggantungkan
hidup dari sektor pertanian. Kondisi alam dusun Gadingsari yang subur menjadikan wilayah
ini menjadi salah satu basis pengembangan sektor pertanian di Kabupaten Magelang.
Sebagaian besar wilayah dusun Gadingsari merupakan lahan pertanian produktif. Di sisi
lain, kondisi ini tak lantas membuat masyarakat dusun Gadingsari lepas dari himpitan
ekonomi. Sebagian besar masyarakat dusun Gadingsari hidup dibawah garis kemiskinan.
Hampir 90% petani di dusun Gadingsari merupakan petani penggarap. Sejauh ini lahan
produktif hanya dapat diakses dan dimiliki oleh sebagian masyarakat saja. Persoalan lain
terkait pengelolaan sektor pertanian adalah intervensi modal investor hortikultura dari
Korea Selatan yang membuat kondisi sosial ekonomi petani penggarap semakin terpuruk.
Kondisi ini berimplikasi pada tingginya arus urbanisasi yang dilakukan masyarakat dusun
Gadingsari. Ditengah tingginya arus urbanisasi, pemuda melalui kelompok Banyumili
hadir membangun sumber ekonomi alternatif di desa dengan mengembangkan budaya
ikan lele menggunakan terpal. Sejak berdiri pada tahun 2010 , tercatat 16 orang pemuda
sudah menjadi anggota kelompok ini. Selain diyakini strategi alternatif pengelolaan lahan
tidak produktif seperti pekarangan rumah, budidaya ikan lele menggunakan sistem ini
diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat dusun Gadingsari.

Naskah ini pernah terbit di dalam Jurnal Studi Pemuda Universitas Gadjah Mada Volume 2 Nomor 1 Tahun 2013 ISSN 2252 9020 dan bisa dilihat di laman jurnalpemuda.fisipol.ugm.ac.id/ 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara

Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li STPN 14 Desember 2016 Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara. Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perd

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan

Authoritarian and paternalism in Indonesian peasant cooperative: A former plantation workers’ cooperative from the 1950s to the neoliberal era

Abstraction This paper examines the dilemmas of a former plantation workers’ cooperative attempting to develop an egalitarian and self-managed agrarian community in the face of persistent military influence in Indonesian’s rural areas. These dilemmas are related to the question of how the ex-worker community shapes and is shaped by exclusionary politics as their cooperative shifts from a peasant political movement into an instrument of capitalistic relations of production. The paper focuses on an ex-plantation workers’ cooperative in West Java (Indonesia) which has been struggling since the rise of the socialist movement in the 1950s. At that time, the plantation workers occupied the former colonial rubber plantation and initiated land reform for the subsistence plots of landless households. The rest of the undistributed land was maintained as an independent cooperative owned and managed by the members under the guidance of the Indonesia Peasant Movement (GTI), a movement inspi