Langsung ke konten utama

Ngapain Belajar!

Duduk seorang mahasiswa di beranda universitas
Membawa ijazah yang dikempitnya puas
Ia termenung melihat mobil berjajar luas
Apa semua kawannya bermobil?
Sengit, dia tertawa, tidak harus kaya bila kredit murah di depan mata

Orang berlarian, berfoto dan membayangkan meja kerja di masa depan
Berkacak pinggang, senyum genit dengan sanggul menor lalu berfoto ria
Berjalan dengan sepatu tinggi yang mungkin bukan merk imitasi saja
Berbaju rapi bak model sedang bergaya
Ah enaknya,

Dibayangkan masa depan dengan otak kacangan
Ingin jadi pegawai karena tunjangan
Dicarinya lowongan menurut kebutuhan
Jadi mapan saja yang dipikirkan
Tanggungjawab mah bukan urusan

Lupa saja kalau disampingnya bayi busung kelaparan
Susu si ibu tak keluar karena kurang makan
Lupa saja kalau bermeter-meter dia berjalan
Orang mengais sampah di kolong-kolong jembatan
Ah mudah saja, cukup bilang kasihan dan beri recehan

Ngajapain belajar?
Kan mau dapat jabatan
Makin tinggi pendidikan, makin tebal dompetnya
Lupa pada kewarasan intelektual
Logika mah bukan urusan

Jangan pikir berat-berat,
Hidup itu hitam-putih, ada nasib buruk dan baik
Otak kacangan cuma bisa ngomong serampangan
Lupa persoalan struktural
Jadi miskin dianggapnya buatan Tuhan
Ah kasihan

Ngapain belajar?
Itu tadi lho biar bisa ngemplang duit APBN
Itu tadi lho biar nyicipi bantuan negara digdaya
Itu tadi lho biar dipercaya perusahaan-perusahaan
Itu tadi lho biar bisa jadi mafia-mafia b*****t

Ngapain belajar?


Oslo, 22 September 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kuasa Eksklusi dan Dilema Lahan di Asia Tenggara

Catatan Belajar: Kuliah Umum Tania M. Li STPN 14 Desember 2016 Catatan ini sengaja saya susun untuk berbagi pengalaman belajar dalam kuliah umum Tania Li beberapa hari lalu di STPN Yogyakarta. Bagi saya, kuliah ini menjadi cara penting untuk memahami kembali buku Power of Exclusions. Jadi mohon maaf bila catatan ini kurang runut, dan banyak diselipi istilah-istilah yang seharusnya terjelaskan terlebih dulu. Catatan ini setidaknya berisi tiga hal: Pertama pengertian eksklusi sebagai pembeda dari konsep-konsep lain dalam belantara kajian agraria dan transformasi sosial di Asia Tenggara. Kedua, pemahaman tentang empat bentuk kekuasaan eksklusi yang tidak terjebak pada pemahaman legal-formal semata. Ketiga, enam proses yang dijelaskan Tania Li membentuk hubungan-hubungan warga dengan lahan di Asia Tenggara. Tania Li membuka paparan tentang “Power of Exclusions” dengan menjelaskan pendekatannya yang komprehensif dalam melihat perubahan hubungan lahan dan warga di perd

Membaca Para Antropolog Marxis Strukturalis

Buku “ Pengantar Pemikiran Tokoh-tokoh Antropologi Marxis ” (PPTAM) ini memiliki tiga konteksnya sekarang. Pertama, PPTAM menawarkan nuansa baru bagi penulisan pengantar teori antropologi yang sebelumnya dikawal Kanjeng Pangeran Haryo Koentjaraningrat. Sejak 1987, buku Sejarah Teori Antropologi dicetak dengan pamor yang tak pernah surut sebagai diktat ajar. Konsekuensinya, Antropologi dipahami positivis dan linear. [1]  Persinggungan Koentjaraningrat terhadap  Karl Heinrich Marx  tak lebih dari pembabakan evolusi manusia dari masyarakat pra-sejarah ke masyarakat sejarah (Koentjaraningrat, 2009). Simplifikasi seperti ini menjadi bagian dari kritik terhadap tafsiran atas Marx yang didiskusikan PPTAM. Kedua, PPTAM bisa juga dimaknai sebagai refleksi historis periode awal Antropologi di Indonesia. Menurut PPTAM, periode 1970-an dikenal sebagai periode kritik atas ke- mandeg -an teoritis Antropologi yang positivis dan fungsionalis. Kedua paradigma tersebut tak mampu menjawab gugatan

Authoritarian and paternalism in Indonesian peasant cooperative: A former plantation workers’ cooperative from the 1950s to the neoliberal era

Abstraction This paper examines the dilemmas of a former plantation workers’ cooperative attempting to develop an egalitarian and self-managed agrarian community in the face of persistent military influence in Indonesian’s rural areas. These dilemmas are related to the question of how the ex-worker community shapes and is shaped by exclusionary politics as their cooperative shifts from a peasant political movement into an instrument of capitalistic relations of production. The paper focuses on an ex-plantation workers’ cooperative in West Java (Indonesia) which has been struggling since the rise of the socialist movement in the 1950s. At that time, the plantation workers occupied the former colonial rubber plantation and initiated land reform for the subsistence plots of landless households. The rest of the undistributed land was maintained as an independent cooperative owned and managed by the members under the guidance of the Indonesia Peasant Movement (GTI), a movement inspi