Ciptaningrat Larastiti
Yogyakarta, 30 September 2010
Di penghujung bulan September tahun
lalu, aku bertanya kepada vaginaku. “Hai Kembang-ku, apa yang kamu pikirkan
tentang hari ini? Pernahkah kamu mengingat sebuah masa di mana kita menjadi
layu?”
Vaginaku diam. Pendengarannya memang
sudah tak setajam dulu ketika ia masih ranum. Aku pun bersabar lalu mengulang
pertanyaan serupa. Namun ia hanya menggeliat.
Aku memahami perasaannya, mungkin saja
ia mulai merasa tak berguna semenjak tubuhku berhenti menstruasi. Aku memang
menopause sebelum usiaku menginjak empat puluh tiga. Bukan karena alat
kontrasepsi yang menghambat rembesan darah keluar dari vaginaku. Bukan itu, toh
selama ini aku tak bersuami. Memang ada sebab lain yang akan kuceritakan
kembali padanya. Sebuah cerita tentang penetrasi yang menekan Kembang-ku
kuat-kuat. Tercekik dan tak bergerak...
****
”Gendjer... Gendjer... isuk-isuk
didol ning pasar...”
Beruntung bahwa hari ini aku bisa
berdiri di sini, di sebuah ruang terbuka dengan massa berteriak lantang
mengepalkan tangan kirinya, ”LAWAN KAPITALISME!” Wajah mereka memerah dideru
panas matahari yang angkuh. Namun tak apa lah, sebentar lagi Lilis Surjani akan
mendendangkan Gendjer-gendjer, sebuah lagu dari Banyuwangi yang entah mengapa
menjadi sangat terkenal.
Panggung Budaya itu semakin ramai oleh
paduan suara ibu-ibu binaan Gerwani dari sebuah daerah berjuluk Begelen.
Kembang-ku mengobarkan semangatnya dan berseru, ”inilah pertunjukan rakyat yang
sebenar-benarnya, gratis. Semua berapresiasi tanpa ada yang merasa jumawa.
Bukankah seni tak perlu dihegemoni oleh kepentingan apapun kecuali untuk
rakyat!” Aku pun mengangguk, vaginaku memang berani. Ia selalu memberiku
inspirasi untuk tak berputusasa mengahadapi keterpurukan ini.
Hingga beranjak maghrib, aku masih
merasa denyutan diantara selakanganku, aku tahu vaginaku sedang bergairah. Ia
memang selalu peka akan semangat massa. Andaikan ia diciptakan untuk
menggantikan bibirku, mungkin aku sudah berani berdiri diatas panggung itu lalu
berorasi. Namun tidak, aku sekarang hanya berada di kerumunan massa.
****
Tepat pukul 20.00 aku berada di depan
rumah. Aku yakin di dalam pendopo bapak dan ibu sudah menunggu dengan rentetan
pertanyaan introgatif untukku. Aku membuka pintu lalu mendapati simbok,
perempuan tua yang sudah dua puluh tahun bersama kami, memandangku kasihan.
”Aduh Wuk, panjenengan wangsule dangu meleh to. Niku bapak lan ibu sampun
nunggu teng pendopo,” tegurnya. ”Jangan takut,” demikian teriak vaginaku.
”Mereka pasti akan bersikap demikian hingga kamu berpikir untuk tak lagi
berjuang.”
Dan benar saja aku mendapati kedua
orangtuaku di pendopo, mereka duduk di atas dua kursi besar, berukir Jepara dan
empuk. Bagiku mereka hanya ingin menegaskan status kepriyayian yang sudah
berpuluh-puluh tahun menempel di rumah ini.
”Nduk,” demikian ibu mengawali. Belum
selesai ibu berucap, tanpa segan bapak mendampratku. Aku diam. Dan memang
seyogyanya aku hanya diam. Ibu pun tak berani membelaku, di rumah ini ia hanya
bunga penyanding bapak. Garis wajahnya yang tirus menunjukkan ketegaran
sekaligus kelembutan yang sekiranya diidam-idamkan perempuan Jawa. Dan memang
seperti itu perempuan Jawa, manut.
”Ning ndi meneh koe!” tanya
bapak sangat kasar.
Aku diam dan memang harus diam, ia
memarahiku dengan laku-laku yang sangat feodalistik. Aku duduk di bawah dan ia
berdiri di depanku, mencacimakiku.
“Koe melu
Gerwani to! Cah cilik, ngerti opo koe. Ora
usah kakean polah nek mung arep dadi komunis!” teriaknya lantang.
Aku paham mengapa ia geram dengan
komunis. Dua bulan ini Barisan Tani mulai menyisir tanah-tanah yang bisa
diambilalih atas nama undang-undang pokok agraria. Dan aku yakin, salah satu
priyayi yang mereka sorot adalah lurah dan itu bapak.
”Bapak, apakah ada yang salah dengan
komunis?” tanyaku.
”Koe wani
bantah wong tuwo yo! Dasar wis ra duwe dugo…” Ia semakin kasar, janggutnya bersungut-sungut. Aku
hanya memahami gejala itu sebagai ketakutan akan terjadi quo vadis atas
kedudukannya dikemudian hari.
Ketakutan tak beralasan itu tentu tak
ingin kubantah. Aku diam. Namun aku tahu ia tak pernah peduli dengan nasib
rakyatnya yang kini kekurangan lahan dan pangan. Sejak dulu ia dilahirkan untuk
menikmati struktur kuat feodalisme yang sudah disyahkan para penjajah. Mereka
dimantapkan kedudukan dan otoritasnya, dijadikan raja-raja kecil yang tak harus
bekerja menggarap lahan. Tanah lurah semakin akumulatif sementara yang lain
dijadikan wuwungan atau buruh tani.
Aku mendesah jengkel kepada bapak.
Kenapa ia begitu teledor. Mulanya bapak kunilai cukup adil karena sebagai
laki-laki ia menyekolahkanku. Namun semakin aku belajar semakin pula aku tahu
tentang motivasi dibaliknya. Aku yakin, ia hanya ingin memperkuat struktur
priyayi di setiap kelenjar tubuhnya. Vaginaku berteriak keras merasakan
kemarahanku yang memuncak.
”Lurah dan elit desa memang diciptakan
pemerintah kolonial agar mereka tidak menggarap tanah. Logika ini tak ubahnya
sistem feodalisme lama, di mana pemilik tanah yakni raja tidak turut bekerja,
dan pola ini lah yang dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial untuk memperoleh
pajak dari masyarakat.”
Rentetan kemarahanku memuncak malam
itu. Bapak terus menekanku dengan sebutan anak tak tahu diri, sementara ibu
dengan santun mengiyakan kemarahan bapak kepadaku. Bagi ibu tindakanku memang
sudah kelewatan. Menurutnya Gerwani bukanlah keindahan dan simbol emansiapsi
untuk perempuan, ia hanya mengganggap organisasi itu sebagai perusak karakter
perempuan Jawa. ”Selama ini ibu belum paham mengapa harus ada Gerwani, bukankah
mereka hanya mencetak perempuan-perempuan liar yang suka berteriak dan tak
paham tradisi,” demikian keluh ibu.
Pertengkaran itu pun berlarut dengan
keputusanku untuk meninggalkan rumah.
****
Setahun usai kepergianku dari rumah,
situasi politik semakin memanas. Amerika mulai geram dengan gerak pasukan merah
di negara-negara berkembang. Komunis hari ini memang sudah mengakar kuat di
basis rakyat, keorganisasian dan parlemen.
Tahun 1964, aku mengikuti gerak
Gerwani di daerah Begelen dengan mendirikan koperasi simpan pinjang bagi
petani. Di sana aku banyak berkenalan dengan aktivis barisan tani yang
sekiranya sedang menyisir kepemilikan tanah di daerah Begelen. Mereka
menerangkan padaku tentang seminar khusus Wanita Tani yang diadakan barisan
tani dengan Gerwani pada tengah tahun 1961.
”Salah satunya membincangkan hak waris
yang seyogyanya juga diberikan kepada perempuan maupun keikutsertaan perempuan
tani pada sektor publik seperti pembangunan desa dan yang terpenting adalah
pengakuan kepemilikan tanah atas nama perempuan,” demikian ujar Surya, salah
satu aktivis barisan tani yang sudah sebulan ini dekat denganku. ”Kerja,
kerja dan kerja.”
Aku tersenyum dan menerima pengetahuan
itu dengan sejuta rasa kagumku padanya. Sudah lebih dari lima tahun ia
mempersoalkan hak tanah bagi petani. Latar belakang keluarganya yang hanya
petani gurem membuatnya menjadi pekerja tangguh. Laki-laki itu tak pernah
mau bila diminta partai untuk masuk ke ranah parlemen. Baginya gedung DPR hanya
akan membuainya dengan kursi empuk yang seumur hidup tak pernah ia rasakan. Ia
takut jika semangatnya melemah kalau tak pernah bersentuhan dengan massa
rakyat.
Laki-laki berambut kriting tersebut
memang selalu menarik perhatianku. Namun kami terlampau sibuk untuk urusan
cinta. Barisan tani menghadapi permasalahannya sendiri, demikian pula dengan
Gerwani. Massa Gerwani dari kelas menengah ke bawah meningkat, buah dari
advokasi terhadap buruh dan petani. Sayangnya tenaga intelektual untuk
mengajarkan pendidikan politik bagi kader baru sangatlah terbatas. Maka
kehidupan kami, para aktivis Gerwani, kala itu hanya berpindah dari satu
seminar ke seminar lain. Mendatangi tiap basis membentuk pendidikan politik
yang kuat agar lahir perempuan-perempuan progresif.
****
Aku merindukanmu, Surya
Aku merindukan belaian,
diskusi-diskusi dan secangkir kopi bersamamu
Aku merindukan belaian,
diskusi-diskusi dan secangkir kopi bersamamu
Malam ini aku semakin merindukanmu
Kemana aku harus berkirim surat
kepadamu, kamu selalu berpindah
Kemana aku harus berkirim surat
kepadamu, kamu selalu berpindah
Gerwani sangat sibuk, kami sibuk
memprotes laju inflasi dan kenaikan harga beras. Apakah dirimu demikian, Surya?
Situasi politik semakin memanas,
konflik angkatan darat mulai terseret menjadi urusan sipil. Apakah kamu
baik-baik saja? Kabar terakhir kamu masih di Jakarta.
Aku rindu kamu.
Aku mencintamu tanpa tanda.
Gendjer...
gendjer... nang kedokan pating keleler
Gendjer...
gendjer... nang kedokan pating keleler
Emake thole
teko-teko mbubuti Gendjer...
Emake thole
teko-teko mbubuti Gendjer...
....
****
Di suatu malam saat aku mendatangi
salah satu koperasi petani buatan barisan tani, aku riang bukan kepalang karena
mendapati Surya ada di sana. Aku menariknya lalu menatap wajah tirus berhidung
mancung itu dalam-dalam.
”Aku rindu kamu,” demikian ucapku.
Ia pun tersenyum lalu memelukku erat.
Lama kami hanya berpelukan di bawah pohon beringin. Vaginaku bergetar saat itu,
aku merasakan kegairahannya. Aku merasakan kenikmatannya, Kembangku menyukai
bau ini. Feromon seorang laki-laki bernama Surya.
”Seperkian jam yang lalu aku berpikir
bahwa politik terlampau angkuh mengangkangi kita, aku dan kamu tak bisa
bersama.”
”Namun politik pula lah yang begitu
khusyu mempertemukan kita.”
Kami bertatapan
Kami berciuman
”Dan inilah kegairahan yang sudah lama
tak kurasai,” bisik Kembang-ku menyela pertautan bibirku dan Surya.
Surya terdiam,
Malam ini aku hanya ingin menikmati
waktu bersamanya
Kami bertemu dari berbagai diskusi
antara Gerwani dan Barisan Tani. Pada mulanya ia tampak sangat angkuh di
mataku, hingga suatu hari ia mau mendatangiku dan mengajakku berdiskusi. Ketika
ia tinggal lama di Begelen, sekian lama itu pula kebersamaan kita terjalin. Ia
sangat militan, oleh karenanya kebersamaan kita tak pernah beranjak dari dua
bulan.
Sudah lebih dari setahun aku mengenal
Surya. Semenjak 1964 dan sekarang September 1965. Hari ini ia bercerita tentang
konflik di sebuah desa. Desa itu berada di pinggir Kabupaten Pati. Jantungku
berdetak, ia tahu bahwa bapakku merupakan salah satu lurah di Pati.
”Massa petani marah tak teredam dan
membakar rumah lurah,” cerita Surya menatapku rendah. ”Saat itu pak lurah tak
mau memberikan data kepemilikan tanahnya pada kita, sementara banyak wuwungan
ada di luar halaman rumahnya menunggu pembagian tanah.”
”Lalu,” tanyaku. Aku tahu vaginaku
saat ini menegang, khawatir dan takut
”Lalu, salah satu buruh tani
mendatangiku dan menatap lembaran kertas ditanganku kosong. Secara sporadis ia
mengajak teman-temannya dan menyeprotkan minyak tanah kemudian membakar rumah
pak lurah...”
”Desa apa itu?”
”Desa Sidomulyo. Aku tahu itu nama
desamu kan...”
”Iya, dan bagaimanapun juga mereka
adalah orangtuaku.”
Aku berdetak ketakutan.
”Apakah mereka mati?”
”Tidak, mereka ditolong oleh mantri
kesehatan sebelum api melahap habis rumah mereka.”
”Begitu, yang penting mereka selamat.”
Aku tertunduk. ”Aku tahu ini bukan
salahmu. Sekarang memang saatnya revolusi. Rakyat harus mengambilalih hak
mereka dari praktik-praktik feodal. Kalau tidak, revolusi gagal dan kita akan
disetir oleh kapitalisme yang akan merenggut kemanusiaan kita.”
Surya kembali memelukku dan kami
tenggelam dalam malam.
****
Saat terbangun lolongan sirine mobil
menderu pagi.
Dan disampingku tak ada lagi Surya
yang berbaring.
Tiba-tiba mataku tertutup, mulutku
terbungkam.
Pukulan di tengkuk membuatku pingsan.
****
Aku terbangun di dalam sel kecil
dengan lima belas perempuan. Gelap dan lembab. Di luar sana suara teriakan
mengacau akalku. Gelak tawa dan rintihan menggulingkan batinku.
”Sudah saatnya ternyata,” bisikku
dalam hati.
Lima belas perempuan dalam sel empat
meter persegi tersebut dipanggil satu persatu. Masing-masing diintrogasi dan
demikian giliranku pun dimulai.
****
Tahun 2009, Kembangku masih mengalami
trauma berat mengingat penetrasi yang menyetubuhi setiap syaraf di dalamnya. Ia
kini layu, rapuh dan kami memang sudah dilemahkan. Dialeinasi layaknya manusia
yang sudah tak berguna. Kotor dan eks-tapol!
Kala itu kami diasingkan dalam kamar
gelap berpenerangan lampu mercury lima watt. Sembari diintrogasi mereka menyela
selakanganku, hampir-hampir menyentuh vaginaku yang mulai menangis.
”Hei jalang! Kau mengaku dirimu lebih
hebat dari lelaki ya!” gertak salah satu laki-laki bercelana loreng.
”Cih, Militier!” aku meludahi tangan
salah satu tentara yang mulai menggerayangi pahaku.
Ada lima tentara di sana dan mereka
memakai penutup wajah. Tak dikenali karena secara pengecut mereka hanya ingin
mengintimidasiku dengan menyeprotkan sperma secara beruntun melalui vaginaku.
”Ha, jangan naif kau. Bukankah kalian
yang secara tak beradab membunuh enam jendral kami. Melucuti bajunya, menyileti
penisnya, lalu menikmati sperma dan membuang mereka ke lubang buaya!” teriak
salah satu tentara didepan mukaku lalu meremas payudaraku seolah akulah yang
harus bertanggungjawab atas kematian enam jendral itu.
Aku pun menyadari bahwa penghancuran
nama Gerwani secara sederhana hanya dimulai dengan menganggap para aktivisnya
sebagai pelacur yang atheis dan tak bermoral. Propaganda yang dilakukan oleh
koran-koran semakin membuatku memerah, meredam kemarahan.
Setiap kali aku diintrogasi oleh lima
hingga sepuluh tentara, mereka akan selalu membawa koran lalu menunjukkan
berita tentang kebiadaban kami, Gerwani dan PKI.
”Ini bukti kegagalan revolusi kalian,
pembantaian berjuta-juta penduduk indonesia.” bentak salah satu tentara.
”Hei apakah kamu bisa menarikan
untukku tarian bunga, persis seperti di depan para jendral?” tanya salah satu
tentara genit. Ia menjambak rambutku yang menjadi sangat rontok. ”Kamu cantik,
tapi sayang kok Gerwani. Ayo menarilah...”
Di lain hari pemberitaan pembantaian
masih menjadi topik mereka untuk mengintimidasiku. Mereka melucuti bajuku,
memperkosaku secara beruntun. Menyuruhku melayani mereka dengan gaya-gaya yang
menurut mereka menantang. ”Ayo, lakukanlah seperti artis-artis Amerika
itu.”
Demikian bertahun-tahun semenjak
September 1965 penangkapanku di salah satu koprasi simpan-pinjam petani di
daerah Begelen. Kiri bagi mereka tak lagi dianggap sebagai bagian dari
perjuangan kemanusiaan. Setan-setan menjadi tak kelihatan di sini. Bahkan
sasaran tembak bagi masyarakat saat ini adalah organisasi kiri. Maka bagi
mereka yang diduga-disinyalir-dianggap turut andil dalam gerakan kiri akan
ditangkap dan dibunuh beramai-ramai tanpa pengadilan!
Bahkan Sidang MPRS tahun 1970 yang
sebenar-benarnya tak bisa membuktikan kami bersalah karena tak cukup bukti,
tetap menganggap Gerwani sebagai otak pembantaian. Nama kami lambat laun
menghitam.
”Lihat, kalian memang benar-benar
bersalah.”
”Tak usahlah kalian mengeluh karena
penjara memang ganjaran yang impas bagi dosa kalian. Justru Tuhanlah yang besok
akan mengutuk kalian di neraka.”
Kembali mereka mendatangiku dan
mengintrogasiku, menghinaku lalu memintaku melayani kemauan mereka. Jika aku
hamil, mereka akan memaksaku menggugurkannya di dokter penjara.
Sejak itulah vaginaku tak pernah
bersuara, ia layu... hingga kini... ia layu...
****
Sehari
setelah aku bertemu dan bersetubuh dengan penuh cinta. Kini aku harus merasakan
penghinaan atas kelaminku. Bahkan mereka pun rela merajam harga diriku diatas
hardikan tentang perkosaan. Tubuh dan tubuhku tak lagi dianggap sebagai
kemanusiaan karena aku hanya robot seks bagi mereka.
Saban malam
Kembangku menangis pilu. Tahukah Kau, Tuhan, terkadang keadilan memang tak bisa
dilihat dalam kaca mata hitam putih. Aku yakin kamu pun tak ingin dipandang
sesederhana itu.
Akan tetapi
aku masih menyakini satu kata, Lawan! Namun perjuangan tak hanya terhenti pada
lingkaran ideologis semata. MerahMu dan merahku memang tak pernah benar-benar
senada, Tuhan. Tapi aku hanya ingin orang-orang yang kucintai selamat. Dan
tolonglah generasi mendatang dari kesesatan sikap...
Catatan pada malam 30 September 2009
Komentar
Posting Komentar